
LEBIH dari 10.000 warga negara Indonesia terlibat dalam aktivitas online scam yang tersebar di 10 negara dalam lima tahun terakhir. Awalnya kasus ini hanya terjadi di Kamboja dan kini telah menyebar ke 9 negara lainnya.
Dari jumlah WNI yang terlibat, diketahui sekitar 1500 di antaranya merupakan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang dipekerjakan untuk urusan online scam. Sebagian dari mereka ditangkap oleh kepolisian Kamboja setelah berontak dan berusaha melarikan diri perusahaan online scam pada 17 Oktober lalu.
Pengajar Sosiologi Fisipol UGM, Andreas Budi Widyanta atau akrab disapa Abe, menjelaskan ribuan WNI yang terlibat permasalahan online scam menjadi pekerja migran yang tidak mendapat perlindungan yang memadai terutama terkait hak asasi manusia oleh negara.
“Mereka adalah bagian dari persoalan panjang tentang tenaga kerja Indonesia di luar negeri,” ungkapnya, Jumat (31/10).
Spiral kekerasan
Dikatakan saat ini para pekerja migran tersebut tengah menghadapi persoalan ganda. Selain berhadapan dengan negara yang tidak memberi perlindungan, mereka juga berhadapan dengan kekuatan korporasi digital.
Ia menjelaskan bahwa para pekerja migran bukan hanya dieksploitasi oleh para majikan, tapi juga oleh korporasi digital dan pelaku kriminal di dunia maya. Hal ini menciptakan ‘spiral kekerasan’ dari negara, majikan, hingga ke sistem digital itu sendiri.
Permasalahan ini diperparah dengan negara yang tidak punya arah yang jelas dalam mengatur komunikasi dan media digital. “Kementerian Kominfo seolah tidak berfungsi dengan baik dalam menangani kasus seperti pinjaman online ilegal (pinjol), online scam, dan penyimpangan digital lainnya,” ungkapnya.
Abe mengaitkannya dengan masih kurangnya pendidikan digital bagi warga negara ini. Banyak pekerja migran menjadi korban karena tidak punya pengetahuan atau pelatihan tentang teknologi digital. Seharusnya, katanya negara memberi pelatihan dasar untuk mencegah praktik penipuan digital.
Negara lalai
“Seharusnya negara memberi training atau pendidikan literasi digital sebelum mereka berangkat ke luar negeri,” ungkapnya.
Lebih lanjut Abe mengemukakan, kondisi ini juga menunjukkan bahwa negara lalai dalam memberikan jaminan perlindungan kepala pekerja migran.
Padahal, ujarnya konstitusi menjamin perlindungan terhadap hak-hak dasar warga negara. Tapi dalam prakteknya, banyak hal tidak dijalankan.
Ditambah, lemahnya koordinasi lintas kementerian, seperti Kementerian Komunikasi dan Digital dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Luar Negeri.
Pendidikan dasar
Abe menyarankan untuk mengatasi permasalahan ini, para pekerja migran sebelum berangkat untuk bekerja ke luar negeri harus diberikan pendidikan dasar mengenai kompetensi digital. Pelatihan ini baginya harus ditetapkan sebagai syarat wajib yang dilakukan untuk mereka para pekerja migran.
“Pendidikan dasar mengenai kompetensi digital itu sebuah prasyarat training wajib yang mesti diterapkan sebelum mereka berangkat keluar negeri dan pemerintah harus mengawasi hal itu,” ujarnya. (AGT/N-01)







