
MENINGGALNYA Sri Paus Fransiskus pada Senin, 21 April 2025 menjadi momentum refleksi warisan spiritual dan sosial bagi umat lintas agama. Kepergian Sri Paus memicu refleksi dan penghormatan dari lintas agama.
Dr. Dicky Sofjan, Dosen Program Doktor Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Sekolah Pascasarjana UGM pernah bertemu Paus Fransiskus dalam konferensi yang diselenggarakan oleh Focolare.
“Satu hal yang paling membekas dari beliau menurut saya adalah kepedulian dan keterbukaannya terhadap komunitas di luar Katolik, khususnya terhadap umat Muslim,” kata Dicky, di Kampus UGM, Jumat (25/4).
Paus Fransiskus memiliki keinginan yang tulus untuk membangun jembatan antara komunitas Katolik dan Muslim.
Ini terbukti dari kunjungannya ke berbagai negara mayoritas muslim seperti di Timur Tengah, Afrika Utara, Asia, dan termasuk Indonesia yang ia kunjungi tahun lalu.
Ia juga menyoroti dokumen persaudaraan (Fraternity Document) yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Grand Syaikh dari Al-Azhar, Mesir pada 2019 yang menjadi simbol kerja sama lintas agama.
“Sri Paus Fransiskus juga mengakui bahwa keselamatan tidak hanya eksklusif untuk umat Katolik, tapi juga bisa diraih oleh umat agama lain,” ujarnya.
Dicky juga melihat intensitas kepedulian seorang pemimpin spiritual yang sesungguhnya dari Sri Paus Fransiskus.
Keberpihakan pemimpin umat Katolik dunia ini terhadap kaum miskin dan tertindas, termasuk tragedi kemanusiaan di Palestina sangat membekas di hatinya. Paus konsisten mengecam agresi Israel dan selalu membela rakyat Palestina.
“Ia bahkan rutin menelepon pemimpin Katolik di Gaza selama perang untuk memastikan kondisi komunitas di sana apakah aman,” kenangnya.
Di kesempatan terpisah, Margareta Rosemary, mahasiswa Magister Teknik Sistem Energi Terbarukan UGM juga turut membagikan refleksi warisan spiritual Paus Fransiskus.
Menurutnya kehadiran Paus telah membawa pesan perdamaian, kesederhanaan, dan cinta kasih sebagai nilai-nilai yang selalu diperjuangkan sepanjang hidupnya.
Ia juga dikenang sebagai pemimpin peduli pada kelestarian bumi. Salah satu warisan pemikirannya tertuang dalam ensiklik Laudato Si’, yang ia tulis sebagai “surat cinta” bagi seluruh umat manusia.
Ia mengajak semua orang untuk menjaga keutuhan ciptaan Tuhan. Ensiklik ini menginspirasi banyak orang, termasuk Margareta, untuk mengubah gaya hidup mereka.
“Saya membuat eco-enzim di kos, bersepeda ke kampus, makan sampai habis, punya barang secukupnya, dan membuat konten seputar lingkungan. Semua itu berawal dari inspirasi Bapa Suci,” ujarnya. (AGT/S-01)