
ASPA perempuan yang melaporkan dugaan kekerasan seksual dan KDRT oleh ayah tirinya, menyampaikan victim impact statement (VIS) kepada Mahkamah Agung (MA).
Surat terbuka tertanggal 17 November 2025 itu ditujukan kepada Ketua MA melalui Majelis Hakim Agung Pemeriksa Perkara.
ASPA menilai putusan bebas Pengadilan Militer III-12 Surabaya dalam perkara Nomor 103-K/PM.III-12/AL/VII/2025 memupus harapannya terhadap keadilan. Terdakwa dalam kasus tersebut adalah ayah tirinya, Lettu Laut dr Raditya Bagus.
Dalam suratnya, ASPA mengatakan dirinya “dihancurkan dua kali”. Pertama saat mengalami kekerasan seksual, dan kedua saat mendengar putusan bebas bagi terdakwa. Ia mengakui baru berani melapor setelah tiga tahun, dari 2021 hingga 2024, bukan karena berbohong sebagaimana dipertimbangkan hakim, tetapi karena diliputi ketakutan.
“Saya takut rumah kami menjadi kolam darah. Saya takut papa (kandung) datang bertengkar dengan terdakwa,” tulisnya.
ASPA menyebut keberaniannya baru muncul pada 2024 setelah melihat ibunya diduga menjadi korban KDRT yang brutal. Ia juga mengkritik pertimbangan hakim yang meragukan kesaksiannya karena tampak “bahagia” dalam sejumlah foto keluarga.
“Apakah korban harus menangis 24 jam sehari agar dipercaya?” tulisnya, menegaskan bahwa senyum dalam foto adalah “topeng” untuk bertahan hidup.
Ia mengungkapkan dampak psikologis yang ia alami, mulai dari gangguan tidur, kecemasan terhadap laki-laki dewasa hingga kebencian terhadap tubuhnya sendiri. Perempuan tersebut menilai majelis hakim lebih mendengar bantahan terdakwa daripada bukti dan rekam medis yang menunjukkan kondisi mentalnya.
Ia juga menyoroti alasan hakim menolak restitusi dengan dalih dirinya dapat mengakses layanan kesehatan gratis karena berstatus keluarga TNI AL. “Bagaimana mungkin saya disuruh berobat ke institusi yang sama yang melindungi pelakunya?” tulisnya.
Kuasa hukum ASPA, Muhammad Irfan Syaifudin, Danu Ariska, dan Anita menyebut putusan bebas tersebut melukai korban untuk kedua kalinya. Mereka mengkritik penilaian hakim yang meragukan trauma kliennya hanya karena ia tersenyum di beberapa foto keluarga.
“Senyum itu topeng, bukan bukti tidak ada trauma,” tegas Irfan dalam rilis Senin (24/11). Mereka juga menjelaskan bahwa Adisha baru berani melapor setelah terdakwa ditahan terkait dugaan KDRT pada April 2024.
Oditur Militer I Wayan Mana telah mengajukan kasasi atas putusan bebas tersebut, dan permohonan itu tercatat dalam Akta Penerimaan Memori Kasasi Nomor APMK/103-K/PM.III-12/AL/XI/2025.
Danu Ariska berharap MA menjadikan perkara ini sebagai preseden dalam penanganan kekerasan seksual. “Jangan biarkan pelaku berlindung di balik pangkat dan dalih kurang saksi. ASPA butuh negara yang percaya padanya,” katanya.
Korban meminta MA memeriksa ulang putusan bebas tersebut melalui mekanisme hukum yang berlaku. Ia menegaskan bahwa permohonannya bukan untuk mencari belas kasihan, melainkan menuntut kebenaran. “Jika Yang Mulia juga menutup mata, maka matilah keadilan bagi saya,” tulisnya.
Surat itu ditembuskan kepada sejumlah lembaga, termasuk Presiden RI, Komisi Yudisial, Pengawas MA, Komisi I DPR RI, LPSK, dan Komnas Perempuan. Hingga berita ini diterbitkan, Pengadilan Militer III-12 Surabaya maupun TNI AL belum memberikan pernyataan resmi.( OTW/S-01)







