
Di dunia kerja modern, istilah “hustle culture” semakin sering terdengar budaya kerja yang menyanjung semangat kerja tanpa henti, seolah kesuksesan hanya bisa diraih lewat lembur, rapat tanpa jeda, dan produktivitas tanpa batas.
Namun, ketika Generasi Z mulai memasuki dunia kerja, pandangan terhadap budaya ini mulai bergeser.
Apa Itu Hustle Culture?
Secara sederhana, hustle culture menggambarkan gaya hidup yang menjadikan kerja keras sebagai identitas diri.
Slogan seperti “grind now, shine later” atau “sleep is for the weak” menjadi simbol generasi yang percaya bahwa waktu istirahat adalah kemewahan.
Budaya ini banyak lahir dari era media sosial, mulai dari influencer, pebisnis muda, hingga pekerja kreatif memamerkan jadwal padat mereka sebagai bukti kesuksesan dan dedikasi.
Namun, di balik semangat itu, banyak pekerja justru terjebak dalam kelelahan kronis (burnout), stres, dan kehilangan arah hidup.
Generasi Z dikenal ambisius dan cepat beradaptasi dengan dunia digital. Mereka ingin sukses, kreatif, dan berpengaruh.
Tapi berbeda dari generasi sebelumnya, mereka tidak mau mengorbankan kesehatan mental dan kehidupan pribadi demi karier.
Bagi banyak Gen Z, bekerja keras tetap penting tapi hidup dengan seimbang jauh lebih berarti.
Fenomena seperti “quiet quitting”, “anti-hustle movement”, hingga “slow living” menjadi simbol perlawanan terhadap budaya kerja berlebihan.
“Saya tetap ingin berprestasi, tapi saya juga ingin punya waktu untuk diri sendiri,” begitu kira-kira semangat yang diusung Gen Z.
Dari Hustle ke Healthy Productivity
Fenomena ini membuat banyak perusahaan mulai beradaptasi. Kebijakan jam kerja fleksibel, remote working, dan mental health day kini bukan lagi tren sementara, tapi kebutuhan nyata di tempat kerja modern.
Kesuksesan bagi Gen Z tidak lagi diukur dari jabatan atau gaji besar, melainkan dari rasa puas, kesehatan mental, dan makna dalam pekerjaan.
Hustle culture mungkin telah membentuk semangat kerja generasi sebelumnya, tapi Generasi Z sedang menulis ulang definisi sukses. Mereka tidak menolak kerja keras namun mereka hanya ingin cara kerja yang lebih manusiawi, produktivitas berjalan beriringan dengan kebahagiaan. (*/S-01)







