BERTEPATAN dengan tanggal 10 bulan Besar 1957 tahun Jawa atau 18 Juni 2024, Kraton Yogyakarta menyelenggarakan Grebeg Besar. Upacara tradisi Kraton Yogyakarta ini ditandai dengan keluarnya gunungan dari Keraton Yogyakarta untuk dibawa ke beberapa lokasi dengan pengawalan prajurit.
Hajatan Dalem Gunungan atau pareden ini selain dibawa ke Masjid Gedhe, ada pula yang dibawa ke Puro Pakualaman dan yang lainnya dalam bentuk ubarampe dibawa menuju Kepatihan Danurejan.
“Gunungan merupakan perwujudan kemakmuran Keraton atau pemberian dari raja kepada rakyatnya. Jadi makna Garebeg Besar secara singkatnya adalah perwujudan rasa syukur, mangayubagya Idul Adha, yang diwujudkan dengan memberikan rezeki pada masyarakat melalui uba rampe gunungan yang berupa hasil bumi dari tanah Mataram,” kata KRT Rintaiswara, Penghageng II KHP Widyabudaya Kraton Yogyakarta.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, gunungan tidak lagi dirayah atau diperebutkan, namun dibagikan. Hal ini, katanya, kembali pada konsep awal, bahwa masyarakat ‘nyadhong’ atau menunggu giliran untuk mendapatkan bagian dari sedekah Raja.
Konsep ini, juga menunjukkan sikap dan sifat sabar manusia untuk mendapatkan dengan cara cadhong, bukan merayah.
Puluhan prajurit Kraton Yogyakarta yang keluar awal kemudian berjajar di sisi kiri dan kanan di jalan sebelah barat Alun Alun Utara. Saat iring-iringan gunungan yang dibawa abdi dalem, prajurit melakukan penghormatan dan tembakan salvo tiga kali.
Gunungan yang dibawa ke Puro Pakualaman, kemudian melanjutkan perjalanan dengan dikawal empat prajurit gajah dan dua bregada prajurit Puro Pakualaman. Sedangkan gunungan lainnya berbelok ke arah barat masuk halaman Masjid Gedhe melalui regol Semar Tinandhu.
Sejak beberapa tahun lalu, iring-iringan garebeg tidak lagi melalui tengah Alun Alun Utara tetapi dari Pagelaran kemudian keluar melalui pintu barat dan menuju Masjid Gedhe. (AGT/N-01)