
KOMPLEKS Kraton Yogyakarta, dikelilingi benteng yang berupa tembok tebal dan di sisi luarnya (waktu itu) terdapat parit atau jagang. Kawasan yang dikelilingi benteng itu menjadi pusat pemerintahan dan sekaligus menjadi kawasan tempat tinggal Sultan beserta keluarganya.
Kawasan yang berada di dalam lingkar benteng disebut nJerong Beteng. Benteng yang memagari Kraton Yogyakarta ini totak panjangnya sekitar 5 kilometer secara keseluruhan. Kelengkapan benteng terdiri atas komponen (1) tembok keliling, (2) struktur pojok benteng ( bastion) , (3) struktur pintu gerbang (plengkung), dan (4) jagang.
Jalur benteng keraton membujur dari Pamengkang kompleks Siti Inggil lurus ke barat hingga pojok benteng barat laut (dikenal dengan sebutan Pojok Beteng Lor Kulon/ Bya-bya), ke selatan hingga sudut benteng barat daya (Pojok Beteng Kulon/ Nuruntri), ke timur hingga sudut benteng tenggara (dikenal dengan sebutan Pojok Beteng Wetan/ Ganeya), ke utara hingga ujung benteng timur laut (Pojok Beteng Lor Wetan/ Narasunya) belok ke barat hingga pinggir Alun-Alun utara.
Terowongan
Benteng Kraton Yogyakarta memiliki ketinggian bagian luar 5,17 – 3,65 meter dan bagian dalam 3,47 – 2,05 meter. Di sisi dalam benteng di bagian atas terdapat jalan selebar 3,56 meter yang disebut Margi Hinggi atau rampart.
Sebagai penghubung antara luar dengan dalam benteng terdapat gerbang yang berupa bangunan semacam terowongan dari tembok. Di lingkungan Kraton Yogyakarta tercatat pernah memiliki 5 gerbang berbentuk terowongan yang disebut Plengkung.
Plengkung ini diperkirakan selesai dibangun pada 1691 AJ yang bertepatan dengan tahun 1767 Masehi atau sekitar 12 tahun setelah Perjanjian Gianti. Angka tahun tersebut didapat dari chronogram (candra sengkala) yang berupa gambar yang dibaca Sarining Sekar Senesep Peksi atau terbaca tahun 1691 Jawa.
Jembatan angkat
Dahulunya, untuk masuk ke dalam benteng terdapat jembatan angkat. Jika jembatan tersebut diangkat, maka pintu masuk menjadi tertutup dan hanya menyisakan jagang yang cukup lebar dan dalam.
Gerbang angkat ini, akan diturunkan atau dibuka pada pukul 06.00 pagi dan akan ditutup pada pukul 18.00. Namun kemudian dilonggarkan hingga dibuka pukul 05.00 dan ditutup pukul 20.00. Tanda waktu yang digunakan adalah lonceng yang adalah suara terompet dan genderang yang dibunyikan oleh prajurit di Kemagangan.
Punya nama
Lima Plengkung yang ada di Yogyakarta ini, masing-masing memiliki nama. Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan di sisi utara bagian timur, Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem di sisi utara bagian barat, Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari di sebelah barat, Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gadhing/Gading di sebelah selatan, dan Plengkung Madyasura atau Plengkung Gondomanan di sebelah timur.
Namun, saat ini tinggal tersisa dua plengkung yakni Plengkung Wijilan dan Plengkung Gadhing atau Nirbaya. Khusus Plengkung Nirbaya, seorang Sultan yang bertahta, dilarang melewati plengkung ini. Sultan diizinkan melintas plengkung ini dalam kondisi sudah meninggal dunia.
Konstruksi plengkung itu sendiri dibuat dengan menggunakan batu bata yang diplester dengan campuran pasir, gamping, dan tumbukan bata merah dengan ketebalan sekitar 55 cm dan longkahan selebar 2,4 meter yang diurug dengan tanah hasil galian.
Tekanan besar
Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim, menunjukkan terjadinya tekanan yang cukup besar khususnya pada Plengkung Gading/Nirbaya. Hal ini memerlukan penanganan komprehensif, yang secara kewenangan pada Dinas Perhubungan DIY berupa pengaturan/manajemen dan rekayasa lalu lintas, yaitu dengan cara mengurangi kepadatan lalu lintas pada titik ini dengan 2 rencana uji coba.
Uji coba sistem satu arah yang kemudian dirancang dengan mengatur arus lalu lintas hanya dari arah utara (dalam benteng) ke luar arah selatan. Atau uji coba penutupan dengan cara menutup akses plengkung secara total.
Untuk diketahui, tekanan yang terjadi pada Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gading berupa potensi kerusakan pada fisik konstruksi plengkung. Hal ini didasari pada temuan Dinas Kebudayaan DIY di 2018 pada saat rehabilitasi fisik plengkung, yang menemukan adanya deformasi berupa retakan.
Lalu lintas
Penyebab tekanan itu adalah aktivitas masyarakat dan lalu tekanan lalu lintas. Tekanan aktivitas masyarakat diantaranya adanya beberapa insiden yang salah satuntya adalah insiden presenter Ricky Komo pada tahun 2017 yang memanjat hingga puncak plengkung, dan turun tidak melalui tempat yang semestinya.
Selain itu adanya insiden seorang pengunjung yang memanjat puncak plengkung pada tahun 2021 maupun adanya aktivitas pelanggaran norma etika di kawasan ini pada malam hari.
Sementara tekanan lalu lintas disebabkan oleh tingginya volume arus lalu lintas yang melintas kawasan Plengkung Nirbaya, yang bertemu dengan simpang empat baik di sisi dalam maupun sisi luar plengkung.
Serta adanya perilaku sejumlah pengendara yang menghentikan kendaraan bermotornya di dalam plengkung pada saat lampu merah juga berpotensi adanya friksi/gesekan lalu lintas, baik secara arus maupun secara fisik (kendaraan).
(AGT/N-01)
Disarikan dari :
Telaah Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas Kawasan Njerin Beteng Segmen Plengkung Gading/Plengkung Nirbaya.
(Kepala Bidang Lalu Lintas, Dinas Perhubungan DIY Rizki Budi Utomo)