SATU lagi organisasi advokat muncul di Indonesia. Hal itu setelah setelah ratusan advokat dari berbagai provinsi mendeklarasikan pembentukan Dewan Advokat Republik Indonesia (DePA-RI) di Yogyakarta, Minggu (24/8).
Ketua Umum DePA-RI, Dr. TM Luhfi Yazid menyebut organisasi mereka telah mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM pada 1 Agustus lalu.
Ia menjelaskan DePA-RI lahir untuk mengambil peran sejarah (role for history).
“DePA-RI diharapkan memberikan warna lain, di tengah banyaknya sinisme kepada para advokat di tanah air, yang sering disamakan sebagai profesi yang hanya mencari duit dengan kehidupan yang gemerlap namun tidak bersuara saat terjadi penindasan, kedzaliman serta penyimpangan dalam penyelenggaraan pemerintahan,” ujarnya.
Menurut dia, organisasi yang dipimpinnya ini tidak berafiliasi kepada partai politik tertentu atau kekuatan politik tertentu. Namun akan tegak lurus membela kepentingan hukum dan keadilan.
Luthfi Yazid menambahkan, DePA-RI tidak hanya berhenti pada level retorika, namun akan melakukan aksi. Pada Agustus ini juga salah satu Wakil Ketua Umumnya Ahmad Abdul Aziz Zein bertolak ke Jepang untuk membantu secara probono (cuma-cuma) kasus penipuan ratusan penempatan Tenaga Kerja Asing (TKA) di Jepang oleh warga negara Indonesia yang berada di Jepang.
Luthfi Yazid berjanji, selama memimpin DePA-RI, tidak akan pernah bersikap partisan, tetap akan independen, berdiri di semua golongan dan berpijak pada nilai kebenaran dan keadilan.
Penegakan supremasi
Pada kesempatan itu, Luthi Yazid mengatakan mencermati secara seksama perkembangan terakhir di Tanah Air. Terutama dalam hal penegakan supremasi hukum dan keadilan (supremacy of law and justice).
Kegiatan ini dihadiri para advokat dari seluruh Indonesia itu, hadir juga beberapa pejabat dari lingkungan pengadilan, beberapa Ketua Pengadilan Negeri di wilayah Yogyakarta, Depkumham RI, kepolisian, para dosen hukum, guru besar hukum dan tokoh masyarakat.
Luthfi Yazid menambahkan, belakangan ini sangat banyak sekali anomali-anomali yang terjadi. Ia menyontohkan terjadinya upaya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK hingga lahirnya UU Omnibus Law secara sembunyi-sembunyi tanpa melibatkan partisipasi publik secara maksimal.
“Termasuk pula ketidak-netralan aparat; cawe-cawe dalam Pilpres/Pilkada, menyempitnya kebebasan sipil, intimidasi terhadap jurnalis dsb,” katanya. (Agt/N-01)