
PROSES tata kelola pengadaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) harus transparan dan akuntabel agar tepat sasaran dan tidak dikorupsi.
Hal itu mengemuka dalam diskusi yang bertajuk Pojok Bulaksumur di area Gedung Pusat UGM, Jumat (17/1).
Diskusi yang diselenggarakan oleh Sekretariat Universitas ini menghadirkan tiga orang pakar dari UGM.
Yaitu Dosen Manajemen Kebijakan Publik Fisipol Prof. Wahyudi Kumorotomo, Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Prof. Subejo dan Dosen Departemen Gizi Kesehatan FK-KMK Dr. Toto Sudargo, M.Kes. dari Fakultas Kedokteran.
Wahyudi Kumorotomo menyoroti soal transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana besar yang dialokasikan untuk program ini agar bisa tepat sasaran.
Menurutnya, potensi terjadinya korupsi harus diantisipasi dengan pengawasan ketat oleh seluruh lapisan masyarakat.
Pengelolaan dana Program MBG sebesar Rp71 triliun per tahun dengan target 19,4 juta anak, jelasnya harus dipantau penggunaannya.
”Jangan sampai ada korupsi atau dana yang dialihkan untuk kepentingan lain,” paparnya.
Program MBG tingkatkan kognitif siswa
Sedangkan Toto Sudargo menilai Program MBG ini berpotensi besar meningkatkan fungsi kognitif siswa jika diimbangi dengan pengolahan makanan yang mendukung gizi baik.
“Konsumsi makanan bergizi, seperti protein dari telur, sangat penting untuk mendukung perkembangan otak. Namun, penyajiannya juga harus diperhatikan agar anak-anak tertarik untuk mengkonsumsinya,” katanya.
Toto kemudian menyontohkan telur jika diobal dengan baik seperti misalnya menhadi telur dadar atau orak-arik, akan memberikan manfaat tambahan kalori. Ia berpesan, kualitas gizi harus lebih diutamakan.
“Yang penting anak-anak mau makan dan makanan tidak terbuang. Jangan sampai makanan hanya diacak-acak dan menjadi sampah,” ungkapnya.
Prof. Subejo menambahkan sebagai program yang luas, pelaksana penyedia makanan harus memanfaatkan bahan pangan lokal.
Menurut dia, ketergantungan pada bahan pangan impor seperti gandum menjadi tantangan besar yang harus diatasii.
Indonesia imbuhnya, memiliki banyak sumber karbohidrat lokal seperti singkong, jagung, dan sagu.
“Jika bahan-bahan ini dimanfaatkan, kita tidak hanya mendukung ketahanan pangan tetapi juga memberdayakan petani lokal,” ujarnya.
Menurut dia, jika desa diberi otoritas untuk mengelola dana dan menyusun menu berbasis bahan lokal, distribusi akan lebih efisien dan dekat dengan kebutuhan masyarakat setempat.
“Mekanisme ini juga dapat mengurangi risiko makanan basi karena perjalanan distribusi yang terlalu jauh,” tambahnya. (AGT/S-01)