
WARGA Dayak Deah di Desa Liyu, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, menggelar ritual adat Mesiwah Pare Gumboh (MPG) atau pesta panen, sebagai bentuk syukur atas hasil panen padi gunung yang melimpah tahun ini.
“Tahun ini hasil panen cukup baik, masyarakat kami tidak kekurangan pangan,” ujar Kepala Adat Dayak Deah, Aliancen, Selasa (22/7).
Perayaan MPG ke-7 berlangsung pada 18–20 Juli 2025 dengan rangkaian ritual adat sakral seperti Nyerah Ngemonta, Ngemonta, Besoyokng, Nempuutn Kerewau, Nempuutn Belontakng, Tangai Monsak, dan Mengudang. Puncak acara digelar di Balai Adat Desa Liyu.
Ritual dipenuhi nuansa budaya, mulai dari pembacaan mantra yang diiringi musik tradisional Dayak seperti gamelan dan gendang (babun), hingga tarian humor khas yang dibawakan oleh seorang damang, menghibur warga dan tamu dari berbagai daerah.
MPG kali ini mengusung tema berbahasa Dayak Deah: “Jue Kate Kelempai Sampai Kangkakngkapot Tendukng Daatn”, yang berarti “semua yang dicita-citakan kini telah tercapai.”
“Tema ini mencerminkan keberhasilan masyarakat kami membangun kemandirian pangan melalui lumbung desa dan menghidupkan kembali budaya sebagai fondasi pembangunan komunitas lokal,” ujar Kepala Desa Liyu, Sukri.
Perayaan juga diramaikan atraksi Mandi Api dan Tarian Gintur Bersama. Selain itu, diresmikan pula Patung Blontakng di halaman Balai Adat sebagai simbol penjaga nilai dan martabat masyarakat Dayak Deah.
Mesiwah Pare Gumboh dan Patung Pelindung Dewa
Tiga patung besar dari kayu ulin berdiri kokoh di depan Balai Adat, yakni Patih Bajulin, sebagai dewa pelindung utama, serta dua patung perempuan, Puteri Telaga Dewa dan Puteri Rintik Manis.
Patih Bajulin setinggi empat meter dipahat menyerupai sosok pejuang suku Dayak oleh seniman dari Kutai Barat. Sementara dua patung perempuan masing-masing setinggi tiga meter menjadi personifikasi pelindung desa.
Sebelum didirikan, ketiga patung ini menjalani ritual Buntang Lawakng, yakni upacara pensucian yang dipimpin langsung oleh Kepala Adat Aliancen.
“Pembuatan patung pelindung ini berasal dari keyakinan warga, juga melalui mimpi. Kami berharap perlindungan dewa dan putri bisa menjaga desa dari bencana dan konflik, serta membawa kesejahteraan,” jelas Aliancen usai memimpin ritual Nengkuat Belontakng.
Rangkaian ritual ditutup dengan penyembelihan ayam, kambing, dan kerbau sebagai bentuk syukur. Warga juga memasak bersama dan menyajikan lamang, makanan khas berbahan ketan yang dimasak dalam bambu, sebagai bagian dari tradisi makan bersama. (DS/S-01)







