
SEBAGAI masyarakat maritim yang berada di pesisir Pantai Utara, Desa Sambiroto Kecamatan Tayu Kabupaten Pati masih mewarisi tradisi larung sesaji di acara Lomban Kupatan.
Lomban Kupatan menjadi acara rutin ini biasanya dilaksanakan seminggu usai Hari Raya Idul Fitri.
Seperti kebanyakan daerah pesisir utara pulau Jawa, masyarakat desa Sambiroto juga menggunakan kepala kerbau sebagai sesaji utama dan disertakan juga kepala kambing.
Semua sesaji itu ditempatkan pada perahu kecil berhiaskan janur kuning (daun kepala yang masih muda).
Sebelum dilarung ke arah muara sungai menuju laut, sesaji itu diarak keliling desa diikuti pawai oleh warga menggunakan iring iringan kereta kuda yang dihias.
Setelah keliling, kemudia acara pelepasan dan doa dipusatkan di TPI Desa Sambiroto.
Kepala desa dan camat setempat menyampaikan beberapa sambutan, diantaranya adalah bagaimana potensi warisan ini terus dijaga dan dilestarikan.
Bahkan potensi ini bisa menjadi daya tarik wisata khas Desa Sambiroto, khususnya dan Pati pada umumnya.
Sayang potensi wisata ini belum digarap secara maksimal , utamanya daya pikat wisatawan untuk ikut serta dalam iring iringan perahu menuju muara belum terkoordinir secara matang.
Jika ini sudah terkelola dengan baik, tidak mustahil event tahunan ini akan menjadi destinasi wisata yang menarik di wilayah Pati.
Lomban Kupatan Penuh Filosofi
Kupat dan lepet (ketupat dan lepet) yang menjadi hidangan khas pada momen perayaan ini adalah warisan kuliner masa lampau. Sepasang kupat dan lepet–lingga dan yoni–dalam perspektif kepercayaan Hindu-Budha yang kemudian dipakai dan dimaknai ulang oleh Sunan Kalijaga pada masa awal-awal Islam era kerajaan Demak.
Filosofi kupat yang bermakna ngaku lepat dan laku papat, sesuai dengan bentuknya segi empat ayaman daun janur (daun kelapa muda), sedang laku papat diantaranya lebaran, luberan, leburan dan laburan.
Menjadi waktu untuk saling memaafkan, bersedekah, dan saling silaturahim setelah usai menjalani puasa ramadan.
Ini menunjukkan adanya transisi dan transformasi budaya yang berkelanjutan, meskipun kepercayaan masyarakat daerah pesisir telah berganti ke agama Islam.
Kupatan Kendeng
Sebaran acara kupatan sebagai perayaan komunal masyarakat pesisir juga ada di daerah pegunungan, di Tegaldawa, Kabupaten Rembang. Kupatan dimaknai ulang sebagai ajang perayaan budaya sekaligus sarana mengkritisi keadaan lingkungan sekitar Pegunungan Kendeng.
Selain arak-arakan ketupat, juga ada temon banyu dan beras–bahan dasar pembuat ketupat.
Pada serasehan, selain silaturahim antarwarga dan aktivis lingkungan menyoal isu-isu lingkungan dan pertanian . Kemudian acara rutin lamporan (perang obor) khas daerah Pegunungan Kendeng Utara.
Sewu Kupat Muria
Di wilayah Colo, Lereng Gunung Muria, juga tidak kalah menarik. Berbagai gunungan ketupat didoakan kemudian diarak dan diperebutkan oleh masyarakat sebagai berkah dan wujud syukur kepada Sang Pencipta.
Acara yang diberi nama Sewu Kupat ini diikuti oleh warga sekitar makam Sunan Muria, tokoh sentral penyebar Islam di area sekitar kawasan Muria–meliputi Kabupaten Kudus, Pati, dan Jepara.
Dari berbagai acara kupatan sebagai bakda kecil usai sepekan selepas Hari Raya Idul Fitri ini, kita dapat melihat bahwa budaya adalah warisan yang terus bertransformasi dan membawa nilai-nilai filosofi dari generasi ke generasi. Bahkan bisa dimaknai ulang sebagai sarana untuk membicarakan harmoni dengan lingkungan , agar tetap terjaga dan lestari. (Put/W-01)