
POLARISASI agama mulai mengemuka kembali di tengah perang dagang mulai terlihat lagi.
Hal itu menjadi perhatian dalam Unconference “Polarization and Its Discontent in the Global South: Mitigation Measures, Strategies and Policies”, 24-25 April di UC Hotel, UGM, Yogyakarta.
Konferensi internasional ini diselenggarakan oleh Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM
Dosen ICRS Dicky Sofjan mengatakan negara perlu lakukan mitigasi setiap gejala polarisasi di masyarakat dengan menelurkan kebijakan publik yang strategis untuk program-program berkaitan depolarisasi.
Sementara Dr. Zainal Abidin Bagir, salah satu pemikir dan aktivis HAM dan Kebebasan Beragama dari Sekolah Pascasarjana UGM mengatakan agama sering dijadikan alat politik.
Agama digunakan memperdalam perpecahan sosial, sehingga narasi keagamaan yang inklusif bisa menjadi penawar konflik identitas memicu polarisasi agama.
Sedangkan Daniel Medina dari Institute for Integrated Transitions, Colombia mengatakan transisi politik di Colombia selalu melihat polarisasi sebagai hyper problem. “Artinya masalah memperparah penyelesaian konflik lain,” ujarnya.
Menurutnya, polarisasi agama dapat menimbulkan imobilitas sosial, dan membuat perpecahan yang mencolok dalam kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. “
Polarisasi pun dapat memperlebar jurang ketidaksetaraan dan juga menghambat penyelesaian masalah struktural yang lain,” katanya.
Polarisasi agama jadi alat politik
Ana Carolina Evangelista dari Instituto de Estudos da Religião (ISER) Brasil menyoroti polarisasi di Brasil terjadi akibat hasil radikalisasi politik.
Ia menjelaskan bahwa selama ini Brasil memang selalu memiliki beragam partai dan ideologi, tetapi baru-baru ini terjadi adalah kutub-kutub politik ini menjadi semakin tertutup dan intoleran terhadap keragaman.
Ana menekankan bahwa saat ini diskursus politik di Brasil mengandung intoleransi lebih besar terhadap perbedaan dan cenderung menggunakan retorika ekstremis ketika menghadapi krisis sosial-ekonomi.
Nicholas Adams dari University of Birmingham, Inggris, berpendapat polarisasi ini dari sisi isu-isu keagamaan dan sosial di Inggris. Ia memperkenalkan konsep “cui bono” (siapa yang diuntungkan).
Peneliti IMAN Research, Malaysia, Nurhuda Ramly, menjelaskan bagaimana Islamisasi politik sebagai contoh polarisasi etnik-agama di Malaysia.
Ia menjelaskan bagaimana kebijakan tahun 1980-an yang menonjolkan Islam Melayu di puncak konstitusi menyebabkan ketegangan dengan komunitas non-Muslim yang ada di Malaysia.
“Hasilnya, narasi kebencian terhadap minoritas bisa dengan mudah disebarkan oleh aktor politik untuk meraih dukungan pemilih mayoritas,” katanya. (AGT/S-01)