
SEJAK masa jabatan Presiden Joko Widodo berakhir pada 20 Oktober 2024, serangkaian tuduhan seketika ditabuh dengan membuka kembali isu yang sudah usang yaitu ijazah palsu.
Nama-nama seperti Roy Suryo, mantan Menpora dari Partai Demokrat; Rismon Sianipar, ahli digital forensik; Rizal Fadillah, Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), serta dr Tifauzia?Tyassuma yang akrab disapa dokter Tifa.
Mereka aktif melemparkan narasi ijazah palsu ke ruang publik. Namun satu pertanyaan penting tetap menggantung: di mana aslinya?
Isu ijazah palsu terhadap Jokowi sejatinya bukan baru. Sudah beberapa kali diembuskan sejak tahun-tahun awal kepemimpinannya. Antara lain oleh Bambang Tri Mulyono, Eggy Sudjana, Muhammad Taufiq, dan TPUA, namun tak satu pun dari tuduhan tersebut lolos uji hukum yang sah. Semua berakhir sebagai narasi liar yang tak kunjung menjadi kebenaran yang utuh.
Telah diverifikasi
Dua kali Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden, dan dua kali pula seluruh dokumennya, termasuk ijazah, telah diverifikasi oleh KPU dan instansi terkait. Sebagai mantan caleg, penulis memastikan proses verifikasi dokumen di KPU ketat, terbuka, dan juga melibatkan pengawasan publik.
Jika ada yang janggal, mengapa tidak sejak mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo pada 2005 dipersoalkan secara hukum? Kenapa setelah dua kali menjabat Wali Kota Solo, sekali Gubernur DKI, dan dua kali Presiden RI (2014-2024), isu ini dimunculkan?
Jika kita jujur melihat konteksnya, tuduhan ini sangat mungkin bukan lagi tentang legalitas ijazah, tapi lebih kepada upaya menjatuhkan legitimasi politik Jokowi pasca kepemimpinannya. Sosok Jokowi masih dianggap berpengaruh dalam percaturan kekuasaan nasional. Maka menjatuhkan reputasinya adalah cara untuk melemahkan jejaring politik yang ia bangun selama dua periode.
Roy Suryo dan kawan-kawan mungkin merasa sedang menjalankan misi kebenaran. Namun ketika bukti tidak memadai dan narasi justru lebih mirip fitnah sistematis, publik mulai jenuh. Apalagi ketika argumen yang disampaikan tidak dibarengi dokumen resmi dari lembaga pendidikan atau keputusan pengadilan yang final dan mengikat.
Alat Politik
Dalam politik, segala hal bisa dijadikan alat. Termasuk ijazah. Tapi ketika alat itu digunakan tanpa kehati-hatian, dan justru menyesatkan publik, maka yang lahir bukanlah kebenaran, melainkan kerusakan demokrasi.
Di era digital, sangat mudah menyebarkan informasi. Tetapi di sinilah tantangan akal sehat masyarakat diuji. Apakah kita akan percaya pada konten sensasional yang viral tapi minim bukti? Atau kita tetap berpijak pada logika hukum dan prosedur negara?
Jika tudingan itu benar, tentu jalurnya adalah pengadilan, bukan media sosial atau konferensi pers sepihak. Mendorong opini publik untuk menghukum seseorang tanpa pembuktian adalah bentuk kezaliman modern, kemasan demokrasi berisi fitnah.
Para pembawa isu ini mestinya sadar bahwa mereka sedang bermain api dengan risiko tinggi. Sebab, bukan hanya reputasi Jokowi yang dipertaruhkan, tapi juga kepercayaan publik pada sistem negara.
Jika publik diyakinkan bahwa semua proses resmi bisa dibohongi dan negara tidak bisa dipercaya, maka kita sedang menggali kubur bagi wibawa hukum dan pemilu itu sendiri.
Panggung drama
Lebih dari itu, generasi muda akan melihat bahwa politik Indonesia adalah panggung yang lebih mementingkan dramatisasi daripada data. Ini sangat berbahaya dalam jangka panjang.
Publik layak kritis terhadap pemimpin. Tapi kritik harus didasarkan pada fakta, hukum, dan niat baik, bukan dendam politik atau hasrat membangun popularitas instan. Menuduh seseorang menggunakan ijazah palsu tanpa bukti yang sah hanyalah drama murahan yang melelahkan untuk mencari panggung.
Kita semua boleh berbeda pandangan, tetapi dalam berdemokrasi, akal sehat dan kejujuran intelektual harus menjadi fondasi bersama. Jika tidak, maka kebebasan berbicara yang kita nikmati hari ini hanya akan melahirkan kebisingan, bukan kemajuan. (N-01)
Mathias Berahmana