
Penulis: Mathias Berahmana
KONFLIK Israel–Iran kini bukan lagi pertikaian bayangan. Konflik kedua negara telah menjelma menjadi perang terbuka dua kekuatan regional, saling hantam dengan korban nyata.
Dunia belum usai mencatat duka dan kehancuran akibat perang Rusia–Ukraina, kini harus menyaksikan Timur Tengah kembali terbakar, kali ini lebih panas dan lebih berbahaya.
Pekan lalu, serangan presisi Israel menewaskan Jenderal Rahim Safavi, Kepala Angkatan Bersenjata Iran — salah satu tokoh militer paling senior yang selama ini menjadi arsitek kebijakan pertahanan Iran di kawasan.
Sebuah pesan yang jelas: Israel tidak lagi membatasi operasinya pada target proksi seperti Hizbullah atau Hamas. Kini, Iran sendiri menjadi sasaran langsung.
Tak tinggal diam, Iran meluncurkan lebih 100 rudal balistik dan drone ke wilayah Tel Aviv, menandai serangan balasan paling signifikan sepanjang sejarah permusuhan kedua negara.
Perang total
Sistem pertahanan udara Israel memang berhasil mencegat sebagian besar proyektil tersebut, namun sebagian tetap menghantam wilayah sipil, menyebabkan korban dan kepanikan massal.
Dunia menahan napas, pada titik ini, serangan langsung dan terbuka, sangat dekat dengan ambang perang total.
April 2025, dalam wawancara dengan tujuh pemimpin redaksi, Presiden RI Prabowo Subianto menyatakan bahwa situasi global saat ini “very dangerous time” karena ketegangan geopolitik, persaingan hegemoni, hingga potensi perang nuklir .
Prabowo secara khusus menyebut: “Amerika siap menyerang Iran, Rusia menopang Iran. Jika Amerika menyerang Iran akan berhadapan juga dengan Rusia.
Prabowo merujuk pada risiko intervensi besar, dalam konteks AS mendukung Israel, Rusia membentengi Iran. Perang Timur Tengah bisa meluas menjadi konfrontasi global dan memicu Perang Dunia III melibatkan senjata nuklir.
Indonesia bisa terdampak
Prabowo berpandangan negara nonblok seperti Indonesia pun bisa terdampak, meskipun tidak secara langsung terkena sasaran nuklir.
Negara-negara yang memiliki nuklir akan hancur lebih cepat. Tapi negara nonblok seperti Indonesia juga akan ikut hancur meski belakangan.
Presiden Prabowo menganalisa perang kedua negara ini tidak main-main. Setiap malam dia pelajari dan berkesimpulan, perang ini benar-benar berbahaya bagi dunia. Kehancuran. Ketakutan. Ketidakpastian.
Israel mungkin mengklaim keberhasilan operasional dalam menumpas tokoh penting Iran, namun apakah harga yang dibayar sebanding dengan meningkatnya ancaman terhadap warganya sendiri?
Iran mungkin merasa telah membalas demi kehormatan, tetapi kini menghadapi ancaman isolasi internasional yang lebih keras, tekanan ekonomi yang meningkat, dan kemungkinan muncul aksi perlawanan dari dalam negeri.
Akibat perang, kedua belah pihak pasti sama-sama kehilangan besar. Bak kata pepatah: menang jadi arang, kalah jadi debu. Tak ada satu bangsa pun yang sungguh menang bila rakyatnya harus hidup di bawah ancaman ledakan setiap hari dan generasi mudanya tumbuh dalam trauma dan dendam.
Di Mana Kata Damai?
Dalam hiruk-pikuk rudal dan pernyataan keras, satu kata terasa makin asing: damai. Apakah tidak ada jalan keluar selain saling menghancurkan?
Apakah sejarah dan ideologi memang harus selalu lebih kuat dari hak hidup manusia? Sementara para pemimpin berbicara tentang strategi, pertahanan, dan kehormatan nasional, yang tertinggal di balik reruntuhan adalah anak-anak yang kehilangan orang tua, rumah yang hancur, dan masa depan yang retak.
Dunia internasional juga tidak bebas dari tanggung jawab. Selama bertahun-tahun, para kekuatan besar justru memperkuat blok-blok berseteru —menyuplai senjata, teknologi, dibumbui retorika.
Jika dunia ingin mencegah perang regional skala penuh, maka sekaranglah waktunya menekan keduanya untuk
kembali ke meja diplomasi.
Tidak mudah menyerukan damai di tengah letusan rudal. Tapi sejarah selalu mencatat: damai datang bukan karena senjata habis, tapi karena hati dan akal sehat akhirnya berbicara.
Bukan menyerah
Damai tidak berarti lemah. Damai bukan berarti menyerah. Damai adalah kekuatan untuk melihat musuh sebagai manusia; sebagai sesama makhluk Tuhan yang juga berhak hidup.
Selama rudal dan bom terus dijadikan bahasa, maka tak akan pernah ada pemenang sejati. Yang tersisa hanyalah puing-puing dan kebencian yang diwariskan turun-temurun.
Apakah Israel dan Iran ingin dikenal sebagai bangsa yang kuat karena berhasil membunuh, atau sebagai bangsa besar karena mampu memaafkan dan membangun kesejahteraan negara masing-masing.
Dunia menunggu jawaban. Sebelum semuanya menjadi debu. (N-01)