
PUSAT Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) mendesak pemerintah dan DPR RI segera merevisi Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. UU ini dinilai berpotensi mengurangi akses masyarakat terhadap layanan profesional dari apoteker.
“Undang-undang ini, beserta peraturan turunannya, memunculkan distorsi dalam pelayanan kesehatan dengan mengeliminasi eksistensi apoteker,” ujar Peneliti PSHK, Retno Widiastuti, dalam keterangan tertulis, Kamis (15/5).
Retno menjelaskan, UU Kesehatan tersebut berpotensi menghilangkan kewenangan klinis apoteker yang selama ini berperan penting dalam proses terapi pasien. Dampaknya, kata dia, bisa meningkatkan risiko kesalahan pengobatan, menurunkan kepatuhan pasien terhadap terapi, serta mengurangi keadilan dalam distribusi tenaga kesehatan.
Penelitian PSHK UII terhadap UU No. 17/2023 dan peraturan pelaksananya menunjukkan adanya penyempitan peran dan kewenangan profesi apoteker, termasuk dalam praktik kefarmasian. Retno menyebut, ini disebabkan oleh penyusutan definisi apoteker, pengaburan otoritas, serta penghilangan peran apoteker dalam sistem kesehatan nasional.
PSHK FH UII pun mendesak DPR, khususnya Komisi IX, untuk segera melakukan pengawasan dan mendorong pemerintah agar membuka kembali akses luas bagi layanan kefarmasian profesional.
Retno juga menambahkan, konsep pengaturan apoteker dalam UU ini menyimpang dari The International Standard Classification of Occupations (ISCO) 2008 yang dirilis WHO, di mana apoteker diberikan kewenangan hingga praktik farmasi klinis.