
KASUS Diabetes Melitus (DM) sebagai salah satu penyakit metabolik yang menyerang dari berbagai kalangan usia terus mengalami peningkatan dan menimbulkan kekhawatiran. Pasalnya penyakit itu berpotensi menyebabkan komplikasi yang salah satunya adalah ulkus diabetikum.
Ulkus diabetikum bukanlah sekedar luka bagi penderita DM, karena ulkus diabetikum dapat mengancam nyawa ketika tidak dapat disembuhkan secara tepat dan cepat.
Berangkat dari keprihatinan tersebut, Tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Eksakta (PKM-RE) ChloScaf+ Universitas Gadjah Mada mengembangakan scaffold hidrogel yang berbasis bahan-bahan alami dari eceng gondok dan mikro alga.
Untuk diketahui Scaffold hidrogel merupakan biomaterial yang dapat memfasilitasi pembentukan struktur jaringan.
Studi literatur dan penelitian
“Eceng gondok dan mikroalga yang awalnya sering dianggap sebagai hama ataupun gangguan pada ekosistem perairan mulai dikenal masyarakat sebagai bahan alami yang bernilai ekonomis tinggi serta berpotensi sebagai komponen material dalam berbagai industri, salah satunya industri kesehatan,” kata Pamastadewi Pryankha Hijrianto, mahasiswa dari Fakultas Biologi sebagai ketua tim.
Pamastadewi menuturkan inovasi yang mereka kembangkan diharapkan tidak hanya dapat menyelesaikan masalah, namun juga bermanfaat bagi masyarakat dari sisi ekonomi.
Melalui studi literatur serta penelitian yang telah dilakukan, Tim coba menginovasikan scaffold hidrogel dengan memanfaatkan selulosa eceng gondok sebagai material yang mudah terurai namun memiliki daya serap yang tinggi serta mengelaborasikan biomassa mikroalga Chlorella vulgaris yang dikenal kaya akan antioksidan maupun metabolit sekunder.
“Dengan memanfaatkan karakteristik dari kedua bahan yang saling melengkapi, kesembuhan dari pasien dengan ulkus diabetikum dapat tercapai dalam waktu yang singkat,” ungkap Gres Gresmawarrenes Jamuss, anggota tim lainnya.
Bakteri patogen
Ia menyebutkan adanya aktivitas antibakteri pada scaffold hidrogel juga menjadi salah satu faktor penting yang menjamin penyembuhan luka bebas dari infeksi bakteri seperti Staphylococcus aureus.
“Keberadaan bakteri patogen tidak hanya sekedar menginfeksi bagian ulkus yang belum sembuh secara sempurna, namun juga pada kasus terparah dapat menimbulkan kematian jaringan atau gangrene yang berujung pada amputasi,” ujarnya.
Anggota lain Lidya Oktaviani, menambahkan pengembangan scaffold hidrogel ramah lingkungan dilakukan melalui beberapa tahapan. Awalnya, serat kering dari eceng gondok perlu diolah terlebih dahulu dengan menghilangkan lapisan lilin pada serat, pemutihan serat, serta asidifikasi dengan larutan sehingga dihasilkan serat selulosa yang putih dan halus.
Lalu, mikro alga hijau Chlorella vulgaris kemudian dipanen dan dikeringkan melalui liofilisasi sehingga didapatkan biomassa yang berwarna hijau serta beraroma khas dari mikroalga tersebut.
Kurangi impor
Untuk proses preparasi bahan yang sudah selesai dilakukan kemudian dilanjutkan dengan formulasi sehingga didapatkan scaffold hidrogel dengan berbagai konsentrasi alga sebesar 0.05%, 0.3%, dan 0.8%. “Proses penelitian tidak usai begitu saja setelah formulasi, pengujian perlu dilakukan untuk menentukan kualitas dan efektivitas dari scaffold hidrogel ini,” imbuh Keanu.
Inovasi yang mereka lakukan ini diharapkan bisa mengurangi ketergantungan pada bahan kimia impor, terlebih untuk bahan kimia sintetik yang biasanya digunakan dalam produksi peralatan dan material medis.
“Harapan kita agar inovasi ini dapat menjadi dasar dari pengembangan lanjutan scaffold hidrogel ramah lingkungan melalui produksi skala industri,” harapnya. (AGT/N-01)








