
UNIVERSITAS Perjuangan Tasikmalaya, Jawa Barat menggelar workshop soal bahasa isyarat bertajuk ‘Tanpa suara penuh makna’. Hal itu bertujuan untuk wujudkan Kota Tasikmalaya sebagai kota inklusi ramah penyandang disabilitas.
Kegiatan tersebut, dilakukan di Fakultas Ekonomi Program Studi Manajemen Gedung Mashudi, Kelurahan Kahuripan, Kecamatan Tawang, Kota Tasikmalaya.
Rektor Universitas Perjuangan, Yadi Heryadi mengatakan, workshop bahasa isyarat itu menggandeng komunitas pegiat sosial tunarungu, metamorfosa Indonesia. Program yang dilakukan itu sebagai bentuk konkret kepedulian terutama bagi mereka khususnya tunarungu.
Bukan retorika
“Kita sangat mendukung program yang dilakukan pemerintah Kota Tasikmalaya tidak hanya di level rektorat atau fakultas, tapi mahasiswa, termasuk Program Studi Manajemen harus mulai memberikan ruang lebih banyak bagi teman kita yang memiliki kebutuhan khusus. Dukungan ini tidak sebatas pada retorika semata tapi diwujudkannya dalam bentuk penyediaan,” katanya, Selasa (20/5/2025).
Ia mengatakan, dukungan yang dilakukan bagi penyandang disabilitas diwujudkannya dalam bentuk penyediaan aksesibilitas fisik, pendampingan akademik, teknologi bantu untuk menunjang kegiatan belajar mahasiswa disabilitas di dalam kampus. Namun, penunjang kegiatan belajar masih ada keterbatasan dan impelementasi ideal masih terus melakukan perbaikan secara bertahap.
“Kampus Universitas Perjuangan sedang kita benahi dan lulusan mahasiswa yang memiliki kebutuhan khusus akan siapkan beberapa sarana menunjang aktivitas. Upaya itu akan dilakukan dan ke depan kita harap bisa lebih baik lagi,” ujarnya.
Agenda rutin
Sementara itu, paguyuban pegiat sosial disabilitas Tasikmalaya, Aris Rahman mengungkapkan, pihaknya mendukung dan mendorong bahasa isyarat sebagai agenda rutin berkelanjutan di berbagai lembaga, termasuk di kampus-kampus.
Sebab pemahaman bahasa isyarat di kalangan masyarakat sangat penting, terutama dalam pelayanan publik seperti di sektor kesehatan.
“Ketika penyandang tunarungu datang berobat ke rumah sakit, perawat harus memahami bahasa isyarat agar bisa mengetahui keluhan pasien. Kalau tidak, dikhawatirkan terjadi salah diagnosa. Maka dari itu, pelatihan bahasa isyarat harus diperluas dan langkah yang dilakukannya harus memiliki peran strategis dalam menciptakan pendidikan yang inklusif dan berkeadilan,” pungkasnya. (Yey/N-01)