
ALGORITMA media sosial hanya membentuk ruang gema (echo chambers) dan menciptakan jebakan kapitalisme komunikasi.
Hal itu disampaikan oleh pakar politik digital dan media sosial, Prof. Merlyna Lim, Ph.D pada kuliah umum yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro.
Kuliah umum internasional mengangkat tema internasional bertajuk “Social Media and Politics in Southeast Asia” yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, Kamis (8/5).
Ekspresi personal diperdagangkan demi likes dan shares. “Kita tak lagi bicara untuk memahami, merujuk pada teori Habermas. Kita bicara untuk menang,” katanya.
Ia menjelaskan bagaimana media sosial telah menjadi arena kekuasaan yang dikendalikan oleh algoritma, kapitalisme platform, dan budaya popularitas.
Merlyna Lim juga menyoroti bahaya enklave algoritmik dan polarisasi afektif yang mengancam kesehatan demokrasi digital di Asia Tenggara.
Lebih jauh, ia mengajak para akademisi untuk mengembangkan perspektif yang lebih kontekstual membangun teori dari Asia Tenggara, bukan hanya mengimpor pendekatan dari Barat.
Ia mengingatkan bahwa netralitas teknologi adalah ilusi, dan kita perlu terus mengkritisinya serta mendorong penguatan literasi digital yang lebih transformatif.
Merlyna mengatakan tugas kita terus membuka ruang dialog dan membongkar ilusi-ilusi digital yang menyelubunginya agar kita bisa lebih kritis dalam membaca teks-teks di media sosial.
Media sosial sebarkan propaganda
Sebelumnya saat pembukaan acara, keynote speaker, Wakil Rektor Riset, Inovasi, Kerja Sama, dan Komunikasi Publik UNDIP, Wijayanto, S.IP., M.Si., Ph.D memberikan paparan.
Ia menggambarkan bagaimana harapan besar pada demokrasi digital kini berubah menjadi kekecewaan.
Alih-alih memperluas partisipasi, media sosial justru dimanfaatkan untuk membungkam suara, menyebar propaganda, dan membentuk “enklave algoritmik” yang memperkuat polarisasi emosional di masyarakat.
“Ironisnya apa yang dulu dianggap sebagai ruang bebas kini menjadi arena represi digital,” kata Wijayanto.
Namun, ia juga optimistis dengan kekuatan masyarakat sipil yang tetap menjadi pilar penting dalam menjaga ruang publik yang sehat.
“Dalam menghadapi tsunami disinformasi dan manipulasi opini publik, masa depan demokrasi digital sangat bergantung pada siapa yang mengendalikan teknologi,” kata Wijayanto.
“Serta sejauh mana masyarakat mampu membangun institusi dan norma yang menjunjung deliberasi terbuka dan inklusif,” lanjutnya. (Htm/S-01)