
DOSEN dan Peneliti Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran, (Unpad) Dr. Nita Fitria, memperkenalkan sepatu berbasis antropometri yang dapat menyehatkan tubuh. Cara kerja sepatu itu yakni menjaga kadar asam laktat saat menjalankan aktivitas fisik.
Dikutip dari tayangan podcast Hasil Riset dan Diseminasi (HaRD) Talk yang disiarkan melalui kanal YouTube @unpad pada Sabtu (18/1), Nita membedah hasil penelitiannya. Sepatu yang dihasilkan dalam penelitian tersebut diproduksi melalui proses antropometri, yaitu pengukuran secara khusus terhadap bagian tubuh manusia. Pengukuran tersebut bertujuan agar sepatu yang digunakan benar-benar sesuai dengan ukuran kaki.
“Karena dalam penelitian ini berkaitan dengan sepatu, maka fokus pada kaki. Jadi nanti kita ukur secara custom. Yang dilihat adalah bagaimana panjangnya, lebarnya, kemudian lingkar dan tingginya,” papar Nita.
Menurut Nita, setelah pengukuran, sepatu kemudian diproduksi dengan bahan dan perencanaan khusus, agar sesuai dengan kebutuhan penunjang aktivitas yang berat. Hal itu untuk menjaga kesehatan dengan cara mengurangi kadar asam laktat yang diproduksi selama beraktivitas.
Hibah penelitian
Sepatu yang dihasilkan melalui hibah penelitian Kedai Reka Kampus Merdeka tersebut, kemudian diperkenalkan dengan merek CNS, yang merupakan akronim dari Comfort and Safety
“Penelitian bermula dari keresahan dirinya akan kondisi kesehatan perawat di rumah sakit, yang kerap tidak diperhatikan secara baik. Karena perawat kerap melakukan aktivitas kerja yang berat dan dalam waktu yang panjang setiap hari. Untuk diketahui berdasarkan data, predikat masalah musculoskeletal disorder atau penyakit terhadap gangguan pada otot dan tulang itu, yang tertinggi juaranya pada perawat,” ungkap Nita.
Ketika melakukan aktivitas fisik, lanjiut Nita, kaki adalah salah satu bagian yang menjalankan kerja paling berat karena terus menopang badan. Padahal, kelelahan pada kaki dalam jangka panjang juga dapat mempengaruhi kondisi kesehatan tubuh secara keseluruhan. Salah satu tanda kelelahan di kaki adalah terlihatnya bio-marker atau tanda di telapak kaki, yang disebabkan oleh tingginya produksi asam laktat di dalam tubuh.
“Kami pun mendapat 100 orang perawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung untuk mencoba, bagaimana sepatu antropometri ini memberikan kontribusi terhadap aktivitas dan kesehatan perawat,” jelas Nita.
Nita mengungkapkan, uji coba terhadap perawat di RSHS Bandung yang dilakukan selama tiga pekan menunjukan hasilnya. Saat dilakukan tes darah, kadar asam laktat yang ditemukan pada perawat yang menggunakan sepatu CNS berkurang signifikan dari 22,48 mg/dl menjadi 16,27 mg/dl.
Prinsip sepatu ideal
Nita juga turut membeberkan, empat prinsip utama yang digunakan untuk memproduksi sepatu CNS agar dapat menjaga kesehatan tubuh. Prinsip pertama yaitu barefoot concept, yang merupakan konsep sepatu untuk meniru kondisi alami ketika manusia berjalan tanpa alas kaki.
“Kita berjalan itu memang paling baik itu tanpa alas kaki, karena secara anatomi fisiologi itu akan ada stimulasi pada sistem saraf di bagian kaki, sehingga kita akan terus terjaga untuk melakukan semua aktivitas,” beber Nita.
Kemudian kata Nita, prinsip Zero Drop System, yang merupakan konsep agar bentuk sepatu pada bagian ujung kaki dan tumit haruslah sejajar. Jika ingin menggunakan sepatu tinggi, seharusnya sepatu ditinggikan seluruhnya. Bukan hanya pada satu bagian saja, seperti sepatu hak tinggi.
Sepatu CNS menggunakan prinsip fleksibel karena dibuat menggunakan bahan yang lembut dan ringan, sehingga dapat mengurangi kelelahan pada kaki.
Terakhir, sepatu sebaiknya memiliki prinsip wide-to-box, yaitu sepatu tidak boleh terlalu lancip pada bagian depannya untuk memberikan ruang pada jari.
Gerakan produksi lokal
Nita melanjutkan, untuk memproduksi sepatu CNS, tim peneliti Fakultas Keperawatan Unpad, bekerja sama dengan mitra produsen home industry lokal di Cibaduyut, Bandung, yaitu Miski Aghnia Corporation atau MACo.
Kerja sama dengan produsen lokal menunjukkan bahwa kualitas sepatu buatan lokal juga mampu bersaing dengan berbagai merek-merek ternama. Selain itu, bukan hanya sekadar dari sisi kebutuhan keuntungan dari home industry
lokal. Melalui sepatu ini ia juga ingin menyampaikan edukasi secara akademik dan ilmiah.
“Saat ini, saya tengah mencoba melebarkan sayap agar sepatu antropometri tak hanya digunakan oleh perawat atau pekerja di bidang kesehatan saja. Tapi juga dapat digunakan oleh pekerja di bidang perkantoran,” sambung Nita.
Nita juga memastikan bahwa desain sepatu antropometri juga akan terus berkembang dengan kolaborasi bersama Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung ITB). Kolaborasi tersebut ditujukan agar sepatu tersebut tak hanya dilihat dari sisi kesehatan, tetapi juga memiliki desain yang menarik. (Rava/N-01)