KONTAK Tani Nelayan Andalan (KTNA) menilai, dengan status Perum (Perusahaan Umum), Badan Urusan Logistik (Bulog) seperti tidak boleh merugi. Sehingga ketika muncul persoalan harga dan ketersediaan beras menipis, maka pilihannya langsung melakukan importasi. Hal tersebut dikatakan Wakil Ketua KTNA Jawa Tengah, Suratno di Solo, Selasa ( 28/5).
“Banyak kalangan petani nguda rasa, sebaiknya kembalikan peran Bulog seperti masa lalu, yakni sebagai badan penyangga pangan. Sebab sejak berstatus menjadi Perum, perannya sebagai penyangga pangan dan harga menjadi tidak ideal lagi. Petani pun merasa posisi merugi dan hasrat bertani juga mengendor, terutama di kalangan milenial,” ujarnya.
Menurutnya selain harus berorientasi profit, pada saat sama Bulog selaku Perum harus melaksanakan kewajiban PSO. Imbasnya, pemerintah terlihat sulit mencari solusi keberlanjutan dalam menjaga ketersediaan dan harga.
Bahkan sejak muncul Badan Pangan Nasional (Bapanas), Perum Bulog dalam posisi menjalankan kebijakan harga. Perusahaan plat merah ini juga mengalami kesulitan membeli gabah atau beras petani, karena harga bersaing dengan perusahaan swasta.
Petani pun, lanjut dia, lebih memilih menjual gabah kering ke perusahaan swasta, yang berani memberikan keuntungan kepada mereka. Padahal jika sebagai penyangga pangan nasional atau lembaga bufferstock, Bulog mestinya boleh rugi.
“Dengan peran lama sebagai penyangga pangan, Bulog boleh membeli gabah petani dengan harga lebih tinggi dari harga pasar, lalu menjual beras yang mereka simpan saat paceklik dengan harga di bawah pasar.” sambung Suratno.
Alih fungsi
Sejak Bulog menjadi Perum, banyak sawah di wilayah tanah air, juga semakin masif terjadi alih fungsi lahan. Banyak sawah menjadi perumahan dan kawasan industri. Seperti di Kabupaten Sragen saja terjadi penggerusan lahan lestari seluas 8800 hektar beberapa tahun terakhir, sehingga potensi kehilangan produksi padi per tahun mencapai 168 ribu ton lebih.
“Itu baru Sragen. Secara nasional tentu luar biasa berapa luas lahan sawah yang alih fungsi. Kebijakan daerah ini, jelas membuat produksi secar nasional juga turun. Apalagi ketika fenomena El Nino mengganggu pertanian, membuat petani padi semakin sedih, karena Bulog dengan gampangnya melakukan importasi,” ujarnya
KTNA Sragen ujar dia, menjadi semakin wajar jika kemudian beralih mengelola tanam jagung, seiring makin tingginya biaya produksi merawat padi, yang tidak diimbangi dengan harga pasca panen. ” Karena itu sebelum posisi Bulog sebagai Perum semakin terseok dalam mengamankan gabah petani, biarlah kembali sebagai penyangga seperti masa lalu,” pungkas Suratno sembari menyimak sikap tegas Plt Sekjen Kemendagri, Komjen Pol Tomsi Tohir yang mendesakkan adanya rakor Perum Bulog dengan Bapanas untuk menuntaskan persoalan perberasan nasional. (WID/N-01)