PROVINSI Jawa Barat menjadi provinsi tertinggi di Indonesia dalam jumlah pelaku dan nilai transaski judi online (judol) di Indonesia. Namun Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar), belum menemukan data adanya ASN yang terdeteksi melakukan judi online.
Untuk diketahui berdasarkan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tercatat ada 535.644 pelaku judi online di Jabar dengan nilai transaksi Rp3,8 triliun.
“Kami belum mendapatkan data ASN yang melakukan judi online. Jika nanti ditemukan dan terlibat dalam judi online, Pemprov Jabar akan memberikan sanksi. Yang jelas kalau terkait ASN, kan ini masalah integritas, tentu ada sanksi. Sama seperti PPDB, kalau ada bukti, pasti tindaklanjuti,” tegas Penjabat Gubernur Jabar Bey Machmudin, Kamis (27/6).
Menurut Bey, saat ini persoalan judol bukan hanya masalah di Provinsi Jabar, tapi juga sudah menjadi masalah nasional. Karenanya,kini terbentuk Satgas Pemberantasan Judi Online yang diketuai HadiTjahjanto.
Dalam mengatasinya, pemprov terus berkoordinasi dengan pemerintah pusat, terkait dengan berbagai upaya mengatasi masalah judi online.
“Yang jelas tentunya polisi sudah melakukan antisipasi maupun tindakan. Nanti kami tindaklanjuti dengan rapat dengan kepolisian terkait hal ini dan lainnya,” sambungnya.
Sementara itu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengaku miristerhadap kasus judol yang memapar anak-anak. Basisnya adalah pengaduan judol itu, sesuatu yang terdeteksi dari berbagai fitur atau jenis permainan yang ada di media sosial.
Hal inilah yang tidak bisa terdeteksi oleh KPAI. Kecuali jika ada laporan anak sampai kecanduan dan ada anak yang melakukan tindakan melawan hukum demi judol dan lainnya.
“Sebetulnya dalam kurun waktu tiga tahun terakhir ada sekitar 400 ribu anak korban pornografi dan cyber crime, di antaranya korban pornografi, perundungan cyber bully dan juga judi online. Tapi, untuk memastikan seperti dilakukan PPATK atau kementerian Kominfo tentu kami tak punya alatnya. Kami hanya pengaduan dan secara manual ada latarbelakang kasus yang tersampaikan,” kata Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah.
Ai mengakui, dari data-data yang disampaikan pemerintah terkait judol cukup mencengangkan. Karena dari komunitas judi saja, ada 2,3 juta penjudi.
KPAI pun mengapresiasi data itu dan untuk anak pun jumlahnya tak main-main. Yang jelas angka ini menjadi acuan dalam memberi dukungan perlindungan ke anak-anak. Jadi, keliru jika memikirkan memenjarakan semua (anak). Itu harus dianulir.
“Kami butuhkan adalah sehatkan, pulihkan anak-anak yang menjadi bagian bangsa ini. Harus dapat direhabilitasi yang cukup, karena mereka pada situasi sangat merugikan. Jangankan bicara soal ekonomi (dimiskinkan), secara fisik dan psikologis, mereka tidak kuat menerima imajinasi yang dia pikir mendapat tambahan uang dan kesenangan luar biasa dari judi online,” lanjutnya.
Ai menyebutkan, berdasarkan data tersebut anak-anak usia di bawah 10 tahun ada sekitar 2 persen atau sebanyak 80 ribuan di Indonesia terlibat judol. Lalu, usia belasan tahun menyentuh angka 400 ribuan. Ini menunjukan jumlah yang signifikan.
“Maka, kami bersurat khusus soal judi online ke ketua satgas untuk lakukan rapat koordinasi dan verifikasi data anak,” pungkasnya. (Rava/S-01)