
MALAM itu 10/5/ 2025 Jagong Budaya di sebuah mata air dusun Gemblung Sukolilo, Pati, Jawa Tengah, menyoal narasi kontekstual tentang bagaimana sejarah masa lampau, bisa menjadi bahan pertimbangan untuk menjawab dan menjadi pemantik ide kekaryaan bagi generasi muda sekarang dan masa depan.
Acara Jagong Budaya yang diiniasi oleh Rangaswengi, sebuah komunitas kolektif seni asal Sukolilo, mengundang Bukori sejarawan asal Sukolilo, mengungkap bahwa temuan data sejarah acapkali membuatnya berada dipersimpangan jalan.
Kemudian sarannya di Jagong Budaya itu, sejarah bisa dipilih untuk berpijak pada positifisme. Karena seringkali kita kehilangan jejak dan data yang benar benar bisa dijadikan acuan.
Misalnya ketika kita bicara tentang seperti apa dusun Gemblung Sukolilo dulu, apa kaitannya nama itu dengan peristiwa masa lampau.
Bukori menambahkan bahwa dulu Sukolilo pernah jadi satu bagian dengan Cengkalsewu yang kini justru adalah desa di wilayah Kayen. Sembari memperlihatkan peta kuno dari data Belanda. “Belum lagi tentang cerita sandiwara ketoprak yang telanjur di percaya sebagai sejarah, ini sering kita temui di wilayah Kabupaten Pati dengan suburnya seni kethoprak, ” imbu Bukori.
Pendidikan generasi muda
Sementara Mbak Gunarti sebagai penutur dari Sedulur Sikep, pada Jagong Budaya itu lebih banyak menyoal pentingnya pendidikan untuk generasi muda, dimulai dari dalam keluarga.
Kendatipun Sedulur Sikep tidak bersekolah formal, namun kenyataannya ada model pendidikan versi sedulur sikep yang telah berlangsung lama. Jadi secara garis besarnya, proses belajar bukan hanya soal baca tulis, tapi juga berbagai warisan filosofi hidup Sedulur Sikep anak turun Sorosentiko.
Pesta rakyat sedekah bumi
Kemudian penutur Putut Pasopati menyambung korelasi kekuatan desa sebagai dasar pertahanan sebuah negara. Bagaimana hasil-hasil bumi dari desa selalu menyuplai kebutuhan kota.
Di Jagong Budaya itu, Putut juga bicara tentang kelenturan gerakan kolektif berkesenian di daerah, bagaimana leluhur telah melakukannya dulu sampai sekarang.
Pesta rakyat semacam sedekah bumi dan tradisi tradisi kebersamaan lainnya adalah bentuk kolektivitas tinggalan leluhur kita untuk dimaknai ulang dalam bentuk kekaryaan sesuai konteks zaman.
Hadir pula Jesy Segitiga sebagai salah satu penggagas Kampung Budaya Piji Wetan Kudus berbagi tentang strategi menghidupkan kembali cerita-cerita rakyat untuk menjadi bagian menyuarakan ketimpangan informasi di masa lalu. Disamping aktivasi beberapa belik untuk kebutuhan air di masyarakat sekitar.
Suasana Jagong Budaya ” Laboh ” menjadi gayeng dengan tanggapan Imam Bocah bercerita banyak strategi bertahan untuk terus melakukan proses berkesenian di daerah. Bahkan dia dan kawan kawan berencana merampungkan putaran Gosek Tontonan yang kurang empat kecamatan lagi di wilayah Pati dan sekitarnya.
“Tanah adalah Manusia, Pupuk itu Gagasannya, ” ungkap Bagus Satya ketika ditanya konsep tentang acara yang berlangsung.
Kita belajar dari sejarah pembentukan bangsa bahwa kedaulatan dimulai dari keberanian mengolah tanah sendiri dan memetik tanggung jawab atas buah hasilnya.
Memperkuat modal sosial
Dalam konteks ini, pameran seni bukan hanya medium estetika, melainkan forum pertemuan ide, pengalaman, dan emosi. “Seni menghubungkan kita pada realitas yang lebih luas dan dalam,” tambah Bagus.
“Jagong Budaya ini adalah serangkaian acara Pameran seni rupa yang mengangkat narasi personal dan kolektif membuka kemungkinan memperkuat modal sosial. Ia bukan hanya panggung eksistensi individu, tetapi juga alat bersama dalam mencari tahu konteks, membangun refleksi, dan membuka ruang dialog keberlanjutan, ” tambah Bagus.
Acara ditutup dengan menyantap kuliner khas nasi tewel dari dusun Gemblung yang dimasak oleh panitia. (Putut Pasopati/W-01)