
RAMAI di media sosial yakni hashtag Kabur Aja Dulu #KaburAjaDulu di berbagai akun media sosial.
Muncul tagar tersebut semakin menguat ketika beberapa pejabat mempertanyakan rasa nasionalisme para diaspora.
Hal ini juga memicu kekhawatiran terjadinya brain drain dari Indonesia.
Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dari Fisipol UGM, Dr. Hempri Suyatna mengatakan fenomena kabur aja dulu mencerminkan sikap kritis.
Serta sindiran generasi muda terhadap situasi sosial politik di tanah air saat ini.
Situasi di dalam negeri dianggap kurang menguntungkan dan negara dianggap “kurang hadir” di dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi rakyat.
“Dalam konteks pengetahuan, misalnya ada kekhawatiran bahwa efisiensi anggaran akan menyebabkan masa depan pendidikan terancam,” kata Hempri, Kamis (20/1).
“Sehingga mendorong generasi muda untuk memilih ke luar negeri baik itu bekerja maupun menempuh studi,” lanjut Hempri.
Bagi Hempri, tagar ini menurutnya bisa dilihat dari dua sisi yakni bisa menjadi peluang jika mereka yang pergi ke luar negeri dapat kembali ke Indonesia.
Dan selanjutnya membagikan pengalaman selama studi atau bekerja di luar negeri untuk mendukung pembangunan di tanah air.
“Saya kira diperlukan ekosistem dan dukungan yang menarik sehingga para diaspora di luar negeri dapat kembali ke Indonesia,” ujarnya.
Kabur Aja Dulu berdampak hilangnya tenaga terampil.
Di sisi lain bisa menjadi ancaman jika para diaspora ini tidak kembali ke tanah air sehingga bangsa ini masih kekurangan tenaga-tenaga terampil.
Dampaknya bisa memunculkan ketimpangan ekonomi antar negara maupun lambatnya akselerasi pembangunan di Indonesia.
“Ekosistem inovasi dan riset di Indonesia belum sepenuhnya baik. Baik dari insentif, gaji, dukungan regulasi, hak cipta dan sebagainya,” ujarnya.
Kondisi ini menurut Hempri menyebabkan banyak ilmuwan muda yang menjadi kurang tertarik untuk mengembangkan karier di dalam negeri.
Apalagi dukungan atas hilirisasi inovasi juga masih kurang sehingga banyak karya-karya yang tidak terimplementasikan dengan baik ke masyarakat.
Hempri berpendapat menghadapi tantangan brain drain ini harus ada dukungan penganggaran dari hilirisasi riset dan inovasi dan pembukaan lapangan kerja yang cukup bagi anak muda di tengah bonus demografi.
Di samping adanya kebijakan pemberian insentif dan apresiasi terhadap inovasi-inovasi pada generasi muda.
“Dukungan atas hilirisasi inovasi baik dalam bentuk pasar maupun pemberian intellectual property,” pungkasnya. (AGT/S-01)