PAKAR Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dr. Yanc Arizona menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pemberlakukan presidential candidacy threshold atau ambang batas minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional di Pemilu sebelumnya sebagai syarat hak pencalonan presiden/wakil presiden adalah putusan ini penting.
Karena, katanya kalau presidential candidacy threshold 20% dipertahankan, akan hanya ada satu pasangan calon tunggal. “Itu buruk untuk demokrasi,” tutur Yance, Selasa (14/1) di Kampus UGM.
Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, Yance berksempatan memberikan keterangan ahli dalam pengujian Pasal 222 UU Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential candidacy threshold).
Menurut dia, pasal tersebut adalah pasal yang paling banyak diuji sepanjang sejarah MK. Hal ini menunjukkan bahwa pasal tersebut adalah pasal yang dipermasalahkan berbagai kalangan, baik akademisi maupun politikus.
Dihapusnya ambang batas pencalonan presiden, katanya, semua partai politik tanpa terkecuali yang lolos verifikasi untuk ikut pemilu dapat mencalonkan kadernya sebagai presiden. Hal ini mengimplikasikan bahwa makin banyak calon presiden yang dapat dipilih oleh masyarakat.
Pemimpin terbaik
Di satu sisi, pilihan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin terbaik makin terbuka lebar. Sebaliknya semakin sulit bagi masyarakat untuk memahami agenda dari setiap calon presiden ke depannya.
“Makin banyak opsi itu lebih baik daripada sedikit opsi. Dengan banyaknya opsi, proses representasi politik juga menjadi makin baik,” ungkap Yance.
Terkait pelaksanaan pemilu dua putaran, Yance menilai tidak akan ada banyak perubahan dan pembengkakan anggaran negara. Dari sisi penyelenggara, yaitu pemerintah, biayanya kemungkinan sama dengan tahun sebelumnya. Hanya Yance menggarisbawahi, biaya yang harus dikeluarkan seluruh calon akan menjadi jauh lebih besar.
Dengan banyaknya calon presiden, kontestan dituntut untuk menemukan cara-cara yang lebih efisien dalam mengumpulkan suara.“Biaya mereka untuk kampanye kalau diakumulasi kan jauh lebih besar,” ujar Yance.
Regresi demokrasi
Putusan MK ini diharapkan dapat mengarah pada proses pemilihan presiden yang lebih demokratis. Yance menilai bahwa kemerosotan demokrasi menjadi fenomena global saat ini. Di banyak negara, institusi-institusi demokrasi dirusak oleh orang-orang yang terpilih secara demokratis.
Dalam hal ini, Yance menyinggung terkait terpilihnya Donald Trump di Amerika Serikat dan Bongbong Marcos di Filipina. Ia menilai putusan MK ini dapat memperlambat, bahkan memulihkan proses regresi demokrasi yang terjadi di Indonesia.
“Putusan MK ini adalah suatu oase, harapan untuk kita, agar kemerosotan demokrasi yang terjadi di negara kita tidak menjadi makin parah,” tutur Yance.
Yance mendesak DPR dan pemerintah sudah menyiapkan perubahan Undang-Undang Pemilu tahun 2029 pasca adanya putusan MK tersebut. Yance berharap perubahan ini dapat menjadi referensi utama bagi DPR dan pemerintah dalam melakukan penataan untuk pemilu lima tahun ke depan.
“Saya berharap ada proses yang lebih terbuka dan partisipatif dalam proses perubahan undang-undang terkait dengan pemilu dan partai politik ke depannya,” pungkas Yance. (AGT/N-01)