BADAN Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaporkan hasil intensifikasi pengawasan pangan selama Ramadan dan Idul Fitri 2024. Target pengawasan adalah pangan olahan tanpa izin edar (TIE), rusak, dan kedaluwarsa, serta pangan berbuka puasa (takjil).
Berdasarkan hasil pemeriksaan produk, ditemukan 4.732 item produk pangan tidak memenuhi ketentuan yang terdiri dari 188.649 pieces. Rinciannya, 49% tanpa izin edar, 31,89% kedaluwarsa, 19,09% rusak.
Temuan produk tidak memenuhi ketentuan paling banyak ada sarana ritel tradisional sebanyak 31,81%, diikuti gudang importir 31,79%, sarana ritel modern 24,02%, gudang distributor 12,38%, dan gudang e-commerce 0,002%.
Total nilai ekonomi temuan pangan tidak memenuhi ketentuan itu mencapai Rp2,29 miliar. Rinciannya, produk tanpa izin edar Rp1,3 miliar, produk kedaluwarsa Rp411,6 juta, dan produk rusak Rp540 juta.
Pengawasan dilakukan serentak di seluruh Indonesia oleh 76 unit pelaksana teknis (UPT) BPOM. “Intensifikasi ini diharapkan dapat memberikan ketenangan bagi masyarakat dalam berbelanja produk,” kata Plt Kepala BPOM Rizka Andalucia dalam konferensi pers di Kantor BPOM, Jakarta Pusat, Senin (1/4).
Target intensifikasi pengawasan pangan menitikberatkan pada sektor hulu rantai peredaran pangan, yaitu mulai dari importir, distributor, dan grosir, termasuk gudang e-commerce yang tidak kalah penting.
Kegiatan tersebut dilakukan dalam 6 tahap mulai 4 Maret 2024 sampai berakhir di 17 April 2024. Hingga tahap 4 saat ini, telah dilakukan pemeriksaan terhadap 2.208 sarana peredaran yang terdiri dari 920 sarana ritel modern, 867 ritel tradisional, 389 gudang distributor, 28 gudang importir, dan 7 gudang e-commerce.
Dari hasil pemeriksaan tersebut, 28,44% atau 628 sarana peredaran tidak memenuhi ketentuan (TMK). Rinciannya, ritel modern 24%, ritel tradisional 36%, distributor 22%, importir 36%, dan e-commerce 14%.
Rizka mengtakan jumlah sarana peredaran yang tidak memenuhi ketentuan ini mengalami penurunan 13,14% dibandingkan tahun sebelumnya. “Hal ini sejalan dengan upaya BPOM untuk terus melakukan pembinaan kepada pelaku usaha untuk menerapkan cara peredaran pangan olahan yang baik,” katanya.
Pangan tanpa izin edar yang ditemukan pada produk impor antara lain berupa cokelat olahan, bumbu, permen, dan sebagainya. Sementara pada produk lokal di antaranya bahan tambahan pangan (BTP), olahan sereal, makanan ringan.
Pada pangan kedaluarsa, ada jelly, minuman serbuk, bumbu, BTP, mie, dan pasta. Beberapa pangan rusak di antaranya pangan olahan dalam kaleng, mie, pasta, susu krimer, susu UHT steril, dan BTP.
Rizka mengatakan produk tanpa izin edar impor banyak ditemukan di kota besar seperti Jakarta. Penyebabnya, Jakarta memiliki demand yang tinggi atas produk-produk impor. Selain itu, Jakarta merupakan hub perdagangan dengan banyak produk yang masuk melalui pelabuhan, bandara, dan barang bawaan penumpang.
“Masih ada juga jalur-jalur ilegal yang memerlukan pengawasan yang lebih intensif khususnya di daerah-daerah wilayah perbatasan,” katanya.
Selain itu, Badan POM melakukan pengawasan takjil. Hasil pengawasan menemukan 1,1% produk pangan tidak memenuhi syarat dari 9.262 sampel yang diambil dari 3.749 pedagang di 1.057 titik lokasi pengawasan.
Produk takjil tidak memenuhi syarat didominasi makanan yang mengandung bahan berbahaya seperti formalin (48,04%), rhodamin B (25,49%), boraks (27,45%), dan kuning metanil (0,98%).
Hasil pengawasan takjil tahun ini menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya sebesar 1,17%. “Ini karena masyarakat sudah mulai awere terhadap risiko penyalahgunaan bahan berbahaya,” kata Rizka.
Menurutnya, BPOM terus berkomitmen untuk mewujudkan pengawasan pangan yang berimbang. “Hal itu dilakukan dengan mendukung pelaku usaha dalam memenuhi ketentuan perundang-undangan dan memberdayakan masyarakat untuk menjadi konsumen yang cerdas,” pungkasnya.
BPOM juga telah menindaklanjuti hasil pengawasan tersebut dengan melakukan langkah-langkah penanganan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran. Tindak lanjut ini termasuk melakukan pengamanan dan menginstruksikan retur/pengembalian produk kepada supplier produk TIE, serta pemusnahan terhadap produk rusak dan kedaluwarsa. (*)