
KEBIJAKAN pemerintahan Prabowo-Gibran untuk memangkas anggaran perjalanan dinas hingga 50%, sulit direalisasikan. Karena dalam kabinet Merah Putih 2024—2029, terdapat sebanyak 48 kementerian dan lima badan yang bernaung di bawahnya.
Jumlah tersebut lebih besar daripada jumlah kementerian di Kabinet Indonesia Maju 2019—2024, yang hanya sejumlah 34 kementerian.
Adanya kementerian baru itu tidak memungkinkan untuk diberlakukannya pemotongan anggaran perjalanan dinas.
Kabinet sekarang tidak mungkin akan lebih hemat daripada kabinet sebelumnya karena jumlah kementeriannya lebih besar dan kepentingan untuk membiayai jajaran birokrasi lebih banyak.
Adanya 14 kementerian baru saat ini jelas membutuhkan anggaran yang lebih besar daripada sebelumnya. Terlebih lagi beberapa kementerian lain membutuhkan dana yang lebih tinggi daripada yang telah dianggarkan. Seperti kebutuhan membuat kantor, fasilitas, infrastruktur, dan pejabat baru yang menelan anggaran.
Ditambah lagi dengan pernyataan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai yang meminta rombak anggaran kementeriannya dari Rp64 miliar menjadi Rp20 triliun. Selain itu, Menteri Koordinator Pangan, Zulkifli Hasan meminta anggaran tambahan sebesar Rp505 miliar untuk mendukung programnya. Bagaimana bisa kita menghemat sampai 50 persen?
Tinjau urgensinya
Sejatinya sebelum kebijakan tersebut diberlakukan, rencana anggaran dapat ditinjau kembali relevansinya. Dalam tahap perencanaan, evaluasi dan monitoring sangat penting dilakukan untuk memastikan pos-pos anggaran yang tidak produktif.
Penghematan dapat dilakukan dengan memangkas biaya-biaya yang tidak perlu, seperti kegiatan yang tidak relevan dengan tugas, pokok, dan fungsi setiap kementerian. Contohnya anggaran Kementerian Lingkungan Hidup yang 70% anggarannya tidak digunakan untuk belanja modal, tetapi lebih banyak digunakan untuk belanja pegawai.
Anggaran yang ada dapat digunakan untuk pengadaan bibit akasia, trembesi, dan mangrove yang penting untuk konservasi lingkungan. Akan tetapi, dalam struktur anggaran, ternyata lebih banyak anggaran yang dihabiskan untuk sosialisasi, komunikasi teknis, seminar, dan sebagainya. Harusnya anggaran itu diprioritaskan untuk belanja modal.
Tidak semua sektor
Meski begitu tentu ada badan atau lembaga yang kinerjanya bergantung kepada perjalanan dinas. Misalnya, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Investasi dan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Pemangkasan anggaran perjalanan dinas pada Kementerian Luar Negeri akan menurunkan kinerja diplomasi Indonesia.
Dengan kata lain, tidak semua sektor harus dipangkas anggarannya. Saat ini Indonesia memiliki peluang emas untuk menjadi negara maju karena adanya bonus demografi. Sektor-sektor yang terkait dengan kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial perlu mendapatkan alokasi anggaran lebih banyak.
Ironi pendidikan
Namun, berdasarkan RAPBN 2025, anggaran dari sektor tersebut, seperti Kemendikbud Ristek dikurangi hingga Rp 15,7 triliun. Hal itu bertentangan dengan prioritas pemerintah tersebut.
Subsidi perguruan tinggi dikurangi sehingga PTN terpaksa harus menaikkan SPP. Kalau kita ingin menjadi negara maju, beri anak-anak pintar itu beasiswa agar mereka mendapatkan peluang lebih luas untuk belajar.
Salah satu contoh kebijakan pemangkasan anggaran adalah realokasi anggaran saat pandemi covid-19. Saat itu, pemerintah menerapkan refocusing anggaran di seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah.
Perjalanan dinas yang tidak perlu dialih anggarkan untuk menangani covid-19 dan memulihkan ekonomi. Perjalanan dinas digantikan dengan rapat daring, sedangkan stok oksigen, vitamin, dan obat-obatan diperbanyak.
Pengaruhi daerah
Perubahan dalam pemerintahan pusat akan berpengaruh sampai ke akarnya, yaitu pemerintahan daerah. Kebijakan pemangkasan anggaran perjalanan dinas sedikit banyak akan memengaruhi kinerja pegawai. Pemberlakuan kebijakan tersebut akan menjadi maksimal apabila sudah ada komitmen yang sangat kuat dari semua pejabat atau pegawai pemerintahan, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten dan kota.
Hal itu tidak diungkapkan tanpa alasan. Selama ini, sangat sulit bagi pegawai negeri untuk diminta mengurangi dan menghemat anggaran perjalanan dinas tanpa mengurangi kinerja mereka.
Dalam kasus tersebut, pengurangan dana belanja untuk pegawai atau perjalanan dinas berimbas pada pengurangan kegiatan pegawai. Hal ini dikarenakan struktur tunjangan melekat pada kegiatan yang dikerjakan.
Padahal jika pegawai diminta mengurangi perjalanan atau pengeluaran belanja untuk seminar dan sebagainya, pengurangan tersebut akan berpengaruh pada kualitas dan kuantitas kegiatan pemerintah.
Mengutip Gordon Tullock, salah satu ekonom Amerika, yang mengatakan bahwa pegawai organisasi publik memiliki kecenderungan menjadi budget maximizer. Berkebalikan dengan organisasi swasta, pegawai yang bisa menghemat akan mendapatkan insentif tambahan. Wahyudi menilai bahwa pegawai negeri cenderung memanfaatkan aset-aset negara selama tugas dan kinerjanya dinilai baik.
Pola atau mentalitas para birokrat seperti itu yang menjadi kendala. Tidak mungkin kita mengharapkan kinerjanya tetap sama, sementara insentif dan belanja perjalanan dinas dikurangi. Itu yang menjadi persoalan kita.
Reformasi birokrasi
Penerapan kebijakan pemangkasan anggaran perjalanan dinas ini harus dibarengi dengan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi adalah upaya untuk melakukan pembaruan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintah dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik. Hal itu pernah diberlakukan pada 2008 oleh Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani.
Pada saat itu, pemerintah memberi tambahan remunerasi tunjangan berupa Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) bagi pegawai negeri sipil (PNS). Sayangnya, penambahan tunjangan tersebut tidak dibersamai dengan target untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan kepada publik.
Untuk itu pemangkasan anggaran perjalanan dinas betul-betul didasarkan pada penilaian yang objektif. Pemerintah harus memastikan bahwa pegawai memang melakukan kunjungan dinas sesuai dengan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) tanpa memanipulasinya.
Jika masalah tersebut sudah diatasi, pemerintah dapat meninjau kembali efektivitas dari pelatihan dan kunjungan. Jika kunjungan tidak meningkatkan kinerja, maka ada baiknya anggaran tersebut dikurangi. Kalau kita bisa memanfaatkan penilaian yang objektif untuk meningkatkan kinerja, saya kira ini akan sangat bagus. (AGT/N-01)
(Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, MPP., Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik)









