
KOLONEL Sus Profesor Dr. Drs. Mhd. Halkis, M.H., perwira aktif TNI dan Guru Besar Universitas Pertahanan, mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).
Permohonan ini diajukan melalui kuasa hukumnya, Izmi Waldani, S.H., dan Bagas Al ‘Kautsar, S.H., M.H. Permohonan uji materi dengan Nomor Registrasi 41/PAN.ONLINE/2025 ini menyoroti batasan hak prajurit dalam berpolitik, berbisnis, dan menduduki jabatan sipil.
Halkis berpendapat bahwa beberapa ketentuan dalam UU TNI bertentangan dengan konstitusi dan mengekang hak prajurit sebagai warga negara.
Salah satu poin utama gugatan Kolonel Sus Profesor Dr. Drs. Mhd. Halkis, M.H. adalah Pasal 2 huruf d UU TNI, yang mendefinisikan tentara profesional sebagai prajurit yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya. Menurut Halkis, definisi ini tidak tepat secara logika karena menggunakan pendekatan negatif.
Ada kesalahfahaman
“Definisi ini tidak menjelaskan apa itu tentara profesional secara positif, melainkan hanya menyebutkan apa yang tidak boleh dilakukan. Akibatnya, ada kesalahpahaman dalam memahami profesionalisme militer,” ujar Halkis, Jumat (14/3).
Menurutnya, tentara profesional harus dimaknai sebagai prajurit yang menjalankan tugas negara secara netral, berbasis kompetensi, dan memiliki hak yang sama dengan warga sipil dalam aspek ekonomi serta jabatan publik.
Pasal 39 ayat (3) UU TNI melarang prajurit untuk berbisnis. Halkis menilai aturan ini bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.
“Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jerman, prajurit tetap diperbolehkan memiliki usaha dengan mekanisme pengawasan yang jelas. Mengapa di Indonesia dilarang total, sementara jaminan kesejahteraan bagi prajurit tidak memadai?” kritik Halkis.
Jaminan ekonomi
Ia menyoroti ketimpangan ekonomi yang dialami prajurit akibat larangan ini, terutama pasca-pensiun. Jika larangan tetap berlaku, negara wajib memberikan jaminan ekonomi yang layak bagi prajurit selama bertugas dan setelah purna tugas.
Halkis juga menyoroti Pasal 47 ayat (2) UU TNI, yang membatasi jabatan sipil bagi prajurit aktif hanya pada tujuh instansi, seperti Kemenko Polhukam, BIN, Lemhannas, dan BNN.
Ia menilai aturan ini tidak sejalan dengan prinsip meritokrasi dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, yang menjamin hak warga negara atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
“Banyak jabatan sipil yang memerlukan keahlian teknokratis dari prajurit TNI, seperti di Kementerian Pendidikan atau Kementerian Luar Negeri. Namun, aturan ini membatasi kesempatan bagi mereka yang memiliki kompetensi di luar tujuh instansi tersebut,” tegasnya.
Tidak konsisten
Halkis juga menyoroti ketidakkonsistenan dalam penerapan aturan ini, karena beberapa perwira tetap bisa menduduki jabatan di luar instansi yang ditentukan, melalui mekanisme dispensasi atau penugasan khusus.
Ia mengatakan jika MK mengabulkan permohonan ini, beberapa perubahan besar dapat terjadi. Di antaranya revisi definisi Tentara Profesional – Konsep profesionalisme militer akan lebih jelas dan berbasis prinsip konstitusi serta keadilan.
Kemudian Hak Ekonomi Prajurit Lebih Fleksibel – Larangan berbisnis dapat diatur ulang dengan sistem pengawasan ketat, atau negara wajib memberikan kesejahteraan yang lebih baik.
Kemudian kesempatan karier yang Lebih Luas – Prajurit TNI dapat menduduki jabatan sipil berdasarkan kompetensi, bukan sekadar status militer. Reformasi UU TNI – Keputusan MK dapat menjadi dasar untuk merevisi UU TNI agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman.
Kesamaan hak
Melalui judicial review ini, Kolonel Halkis berupaya mendorong reformasi peran dan hak prajurit TNI dalam negara demokratis. Ia menegaskan bahwa keadilan konstitusional harus ditegakkan, sehingga prajurit tidak hanya menjadi alat negara, tetapi juga warga negara yang memiliki hak setara dengan masyarakat sipil.
“Gugatan ini menjadi ujian bagi Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan hak konstitusional prajurit TNI dan menjaga keseimbangan antara profesionalisme militer serta hak individu. Keputusan MK nantinya akan menjadi preseden penting bagi reformasi ketatanegaraan di Indonesia,” pungkasnya. (Rud/N-01)