
KEPALA Program Studi Magister dan Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) serta Transportasi ITB, Saut Aritua Hasiholan Sagala, menegaskan bahwa kerusakan lingkungan yang terjadi di Sumatra tak lepas dari tingginya laju deforestasi dan masifnya konversi lahan, terutama di kawasan tangkapan air Bukit Barisan.
“Terkait kerusakan lingkungan, itu berhubungan dengan laju deforestasi di Sumatra yang termasuk tinggi di Indonesia serta konversi lahan di daerah tangkapan air,” ujarnya, Jumat (5/12).
Menurut Saut, pembukaan lahan di wilayah hulu membuat daerah aliran sungai (DAS) kehilangan kemampuan menyerap air. Saat terjadi hujan ekstrem disertai gangguan atmosfer seperti siklon, lahan terbuka memicu peningkatan limpasan air (run-off) secara drastis.
Kondisi ini diperparah oleh kemiringan lereng yang menyebabkan air membawa material berat seperti kayu gelondongan dan sedimen hingga ke permukiman di wilayah hilir.
Ia menekankan perlunya penguatan tata ruang sebagai kunci pencegahan bencana hidrometeorologi. Penerapan analisis risiko harus menjadi dasar dalam setiap pengambilan keputusan, terutama di wilayah hulu–hilir yang saling terhubung secara ekologis.
Deforestasi Sumatra, alih fungsi hutan kebablasan
Dalam ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota, ujar Saut, setiap alih fungsi lahan harus dihitung eksternalitasnya, yakni dampak yang muncul di luar area izin dan kerap dirasakan masyarakat di wilayah hilir. Pendekatan ini penting agar pembangunan tetap sejalan dengan keselamatan publik dan keberlanjutan lingkungan.
Menghadapi kondisi darurat saat ini, Saut mendorong beberapa langkah mendesak, mulai dari peninjauan ulang tata ruang, perubahan zonasi di area berisiko tinggi, hingga penertiban sempadan sungai yang semestinya bebas dari permukiman. Ia juga menilai pemerintah perlu menerapkan moratorium izin baru dan mempercepat program reboisasi di hutan yang telah gundul.
“Saya menyerukan agar pembangunan mengadopsi kerangka ekologi politik. Setiap izin dan proyek pembangunan harus melalui perhitungan cost–benefit yang jujur, memastikan manfaat ekonomi tidak hanya sesaat dan mempertimbangkan risiko ekologi jangka panjang, termasuk dampak perubahan iklim,” tegasnya. (Rava/S-01)







