MASYARAKAT Transportasi Indonesia ( MTI ) menyarankan Polda Jabar meniru Polres Batang dan Polres Jambi yang mampu memperkarakan penyedia jasa angkutan umum ketika terjadi kecelakaan yang mengakibatkan korban tewas.
“Tangan hukum jangan hanya terbatas tegas dengan menindak sopir,” terang Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno dalam keterangannya di Solo, Kamis ( 23/5).
Penegasan Djoko itu menyikapi pengusutan kasus kecelakaan bus pariwisata di Subang dua pekan silam, serta gambaran penanganan sejumlah kasus laka yang menelan korban cukup besar di sejumlah wilayah Tanah Air.
Ia paparkan, sejumlah kasus laka maut, seperti di Perempatan Muara Rapak, Balikpapan pada 21 Januari 2022, lalu Bus Pariwisata Ardiansyah berplat S 7322 UW di KM 712.400A Tol Surabaya-Mojokerto pada 16 Mei 2022, kemudian Bus Pariwisata PO Pandawa di Jalan Raya Payungsari, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis pada 21 Mei 2022, hingga kini tidak ada kabar kelanjutannya.
“Hanya sopir yang dijadikan tersangka. Mestinya tangan hukum jangan hanya terbatas tegas menindak sopir saja. Apalagi dari 3 contoh kasus di atas sudah berganti pejabat yang mengurusnya. Jangan harap akan diusut lagi. Bisa saja berkasnya sudah hilang atau dihilangkan,” beber dia.
Harapan MTI, penanganan kasus kecelakaan bus di Subang yang menelan 11 korban jiwa siswa SMK Lingga Kencana Depok itu bisa menjadi momentun, agar penegakan hukum dapat komprehensif dan adil. Semua pihak yang terlibat harus bertanggung jawab.
Djoko mengutip UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pada Pasal 286, menyebutkan setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan laik jalan dapat dipidana kurungan maksimal dua bulan atau denda maksimal Rp 500 ribu.
Jika terbukti pengemudi membawa kendaraan atas perintah Perusahaan, yang dipidana adalah Perusahaan atau pengurus yang memerintah. Lebih dari itu penyelenggara tour wisata juga wajib bertanggung jawab atas penggunaan bus yang tidak sesuai UU LLAJ.
” Kerap terjadi, penyelenggara tour wisata menawarkan sewa bus murah dengan mengabaikan aspek keselamatan. Karena itu penyelenggara tour wisata harus dikenakan sanksi hukum jika ketahuan ikut melanggar aturan penggunaan bus wisata yang tidak memenuhi kaidah UU LLAJ,” imbuhnya.
Djoko menegaskan, berpijak pada Pasal 315 UU 22/2009 , sebenarnya sudah mencantumkan adanya sanksi pidana bagi perusahaan angkutan umum. Sanksi pidana itu terkait kendaraan yang dikemudikan sopir tanpa melalui pengujian KIR.
Sejauh ini, perusahaan angkutan yang lalai dalam pengurusan izin KIR, hanya dikenai sanksi administratif jika bus angkutan miliknya terjadi kecelakaan di jalan raya. Padahal mestinya mereka harus pula disanksi hukum.
Djoko Setijowarno juga menyoroti keberadaan UU 22/2009 yang tidak mengenal istilah investigasi kecuali tindakan pro justisia untuk mencari tersangka pada kasus kecelakaan. Jadi, sama sekali tidak mengatur adanya upaya mencegah peristiwa bisa terulang kembali melalui proses investigasi laka transportasi.
“Hal ini sering menyulitkan Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dalam melaksanakan investigasi, karena akan berbenturan dengan UU LLAJ. Proses investigasi baru dapat dijalankan setelah proses pro justisia selesai,” sergah dia.
Hal ini sangat beda dengan tiga UU Transportasi yakni UU Perkeretaapian, Pelayaran dan Penerbangan, yang mana ada ketentuan tentang upaya investigasi. Karena itu MTI mengusulkan, demi kepentingan bangsa, sebaiknya UU LLAJ bisa direvisi, agar pada setiap kecelakaan perlakuannya sama dengan 3 moda transportasi lainnya, yakni ada proses investigasi. (WID/N-01)