GABUNGAN Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) DIY membantah program pendampingan desa wisata yang telah dijalankan selama dua tahun menjadi ajang komersialisasi.
Ketua DPD GIPI DIY Bobby Ardyanto Setya Aji menegaskan program pendampingan desa wisata yang dilakukan GIPI merupakan bentuk inovasi model pendampingan.
“GIPI melihat program pendampingan yang selama ini ada sekadar pemberian materi dalam beberapa jam dan dianggap program sukses. Padahal belum bisa dilihat dampak dari pendampingan yang sudah dilakukan,” kata Bobby.
Program pendampingan yang dilakukan GIPI, lanjutnya, tidak sekadar memberi pelatihan, namun menjadi program yang dampaknya terlihat dan terukur.
Sebelum dan sesudah program pendampingan, jelasnya harus terlihat perubahan yang terjadi di desa wisata. Menurut dia Tim Pendamping harus kuat.
Bobby juga menekankan bahwa GIPI merupakan organisasi koordinatif. Untuk urusan teknis selalu dikembalikan ke asosiasi anggota GIPI yang sesuai. Dan itu bisa dilihat pada para pendamping pada program ini.
“GIPI bukan lembaga pelatihan. Maka, monggo saja model pendampingan ini jika sudah terbentuk bisa diduplikasi,” tambahnya.
Sedekah ilmu
Ia kembali menegaskan GIPI tidak komersial. Program pendampingan ini, ujarnya lebih bersifat sedekah ilmu para pengurus dan anggota GIPI.
“Komersial bagaimana, para pendamping ini tidak dibayar sebagaimana kalau mereka menjadi narasumber pada kegiatan lain. Ada honor untuk 3 narasumber, tetapi GIPI mengerahkan 20 narasumber, komersial dari mana?” ungkap owner Joglo Mandapa Boutique Hotel and Resto ini.
Kepada Tim Pendamping, Bobby juga berpesan bahwa program pendampingan ini bukan bentuk industrialisasi desa wisata. Bukan menjadikan desa wisata menjadi industri.
Bagian industri
“GIPI tidak ingin menjadikan desa wisata bagian dari industri tetapi GIPI hanya ingin agar service dan product desa wisata mendekati standar industri. Sehingga desa wisata akan mendapat kepercayaan atau trust yang lebih baik dari wisatawan,” tegas Bobby.
Setelah mendengarkan paparan hasil asesmen Tim Pendamping, Bobby menegaskan dua desa wisata dampingan tahun 2024 ini memiliki potensi yang luar biasa. Potensi yang jika dikembangkan, bisa memiliki nilai jual pada wisatawan yang kuat. Bahkan untuk wisatawan mancanegara.
“Inilah yang akan kita dorong. Para pengelola desa wisata harus memiliki tekad kuat untuk mengemas paket tematik yang berbasis budaya dan bisa menahan wisatawan untuk tinggal. Para pengelola juga harus memperhatikan dampak lingkungan serta bervisi wirausaha dalam mengembangkan desa wisatanya. Jangan diam dan nunggu saja, ” tandas Bobby. (Agt/N-01)