
TAK banyak seniman yang menaruh perhatiannya pada persoalan lingkungan, apalagi seniman perempuan dan tinggal di kota kecil semacam Pati, Jawa Tengah.
Bukan karena secara iklim keseniannya yang timbul tenggelam, namun isyu isyu semacam itu butuh keberanian dan energi yang cukup besar dalam menyuarakan persoalan kritis dan kerap membentur dinding kekuasaan.
Salah satu seniman perempuan itu adalah Siwi Agustina, pendiri Teater Mina Tani yang kini terlihat sering intens dan kusyuk menggembleng dirinya dengan proses proses teaterikal tentang perempuan dan lingkungan.
Beberapa tahun terakir ini, Siwi menggali potensi dirinya, mengeluarkan berbagai kegelisahan dalam bentuk karya-karya performance di beberapa lokasi sekitar kawasan lingkar Muria.
Rukti Lakuna menjadi salah satu karya yang muncul dari perenungan tentang perempuan dan lingkungannya. Berproses bersama dengan Ellisa, perempuan perupa muda juga asal Pati, yang membuat karya batik khusus untuk kostum mereka berdua.
Melalui gerak ketubuhan, Siwi membangun narasi kritis tentang pertanyaan dan kegelisahan sebagai perempuan dan lingkungan. Peran perempuan tentang kesetaraan juga teriakan kerusakan alam.
Rukti Lakuna semacam persinggahan tegur sapa antara dia sebagai aktor dan kreator terhadap ruang intim lingkungan dimana itu menjadi panggung ekplorasi dan sekaligus kolaborasi bentuk untuk menyuarakan persoalan yang berbeda beda di tiap lokasi.
Siwi kemudian menemukan silaturahim kekaryaan dengan banyak komunitas yang dia singgahi untuk saling berbagi. Konsep kebersamaan ini menjadi menarik, ketika dia sebagai aktor tidak ingin mendominasi ruang.
Siwi sering melakukan kerja kolaboratif dengan beberapa kelompok teater juga musik. Baik monolog maupun grup. Kesadaran berbagi ruang ini menjadi ekosistem yang sehat dalam pergaulan lingkungan seni di sekitarnya.
Dari Rukti Lakuna itulah , Siwi kemudian terus memasuki dunianya secara pribadi, bergulat mengekplorasi tubuh untuk mewakili kegelisahannya sebagai perempuan menyoal tentang perempuan dan lingkungan. Mempertanyakan ulang fungsi-fungsi perempuan dalam memperjuangkan hidup di tengah rumitnya laju peradaban sekarang.
Dia menggarap Siyang Amerta Ratri sebagai nomor performance merespon isyu air di lingkungan Kawasan Kendeng utara. Karya yang sebelumnya pernah juga dia mainkan di lereng Merbabu .
Air bisa menjadi berkah sekaligus bencana jika manusia tidak dapat mengelola dengan arif dan bijak. Karya ini semacam doa yang dia langitkan bersama Wiji Kendeng, komunitas anak anak sedulur sikep Sukolilo yang kini juga aktif berkarya seni.
Acara bertajuk Nyiwer Kendeng pada 18 Januari 2025 ini diinisiasi Gunretno dan JMPPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng)
Performance diawali langkah sesosok perempuan dengan kostum jawa khas dengan caping penutup kepala, serta atribut kain berjuantai ala pendekar china. Kain tipis ini bertuliskan semacam rerajahan tulisan jawa dan doa-doa pengharapan untuk kebaikan alam semesta, diiringi tetembangan oleh Elva karya tulisan Kang Gunritno tentang hama dan suara kemanak dalam tempo ritmis dan sakral.
Siwi sadar betul bahwa main di alam tidak seperti di panggung pada umumnya, maka ketika caping yang dia kenakan menyala biru, suasana menjadi tampak teaterikal dengan gestur tubuhnya meliuk dan menari memainkan capingnya.
Tak ada suara riuh, semua kusyuk memperhatikan sangat terasa sekali aura doa di antara nyala oncor-oncor masyarakat Kendeng yang bersambung melakukan tradisi lamporan.
“Mendoa kebaikan pada udara dan tanah air kawasan kendeng disertai nyala api oncor adalah elemen kehidupan ,” kata Siwi.
“Saya dua tahun terakhir ini sering berinteraksi dengan persoalan isu- isu lingkungan dan akrab dengan alam dan masyarakat Kendeng, harapannya laku seni saya bisa memberi manfaat meskipun hanya suara suara kecil sebagai perempuan ,” tambah Siwi. (Put/W-01)