PRABOWO SUBIANTO memberikan sinyal kuat akan terjadinya pergeseran orientasi politik luar negeri Indonesia ke depan. Hal itu terlihat dari rangkaian kunjungan dan pertemuan Menteri Pertahanan yang sekaligus Presiden terpilih dengan berbagai tokoh.
“Saya merasa sepertinya kunjungan ini memberi sinyal atau tanda bahwa orientasi politik kita kemungkinan akan sedikit bergeser. Dari yang tadinya agak barat, ini mungkin kita agak ke timur. Dalam konteks ini maksudnya ke negara-negara yang tidak selalu akrab dengan negara-negara Barat, terutama Amerika,” papar pakar Kebijakan Luar Negeri Fisipo UGM Dr. Dafri kepada wartawan, Rabu (7/8) di Kampus UGM.
Ia mencatat belum lama ini, Prabowo berkunjung ke Rusia setelah sebelumnya sudah mengunjungi ke sejumlah negara di Asia dan Eropa seperti China, Jepang, Prancis, Serbia, Turki. Kunjungan ini menjadi upaya Prabowo dalam menjalin relasi global dalam rangka memperkuat posisi strategis Indonesia di kancah Internasional.
Menurut Dafri, negara-negara yang dikunjungi, Prabowo menunjukkan keinginan menjalin kerja sama dengan negara-negara Timur, seperti Turki, China, dan Rusia yang berpotensi dalam hubungan ekonomi perdagangan Indonesia ke depannya.
Kekuatan Timur
Kunjungan ini, ujarnya, juga mengindikasikan bahwa Prabowo ingin Indonesia tampil di dunia internasional sebagai negara yang mampu menghimpun kekuatan Timur.
Dafri juga berpendapat bahwa kunjungan yang dilakukan Prabowo tersebut sepertinya juga bertujuan untuk menemukan ruang baru bagi kerja sama ekonomi perdagangan Indonesia, di luar negara-negara Barat.
Soal kunjungan Prabowo ke China-Rusia ini dapat berpengaruh besar terhadap hubungan politik luar negeri Indonesia dengan Amerika yang berseberangan nilai-nilai politiknya dengan negara-negara tersebut.
Strategi Indonesia untuk mendekati China, Rusia, Turki, jelasnya dilakukan dalam rangka meningkatkan posisi tawar terhadap negara-negara Barat yang selama ini dianggap menekan dan mengabaikan kepentingan Indonesia.
Naikan posisi tawar
Dafri mengemukakan dengan memperkuat posisi tawar, memungkinkan Indonesia mempunyai akses yang lebih besar untuk merealisasikan kepentingannya. Selain itu, dampak lainnya akan berpengaruh pada akses Indonesia terhadap bantuan-bantuan, baik negara-negara Barat atau lembaga-lembaga Internasional yang mungkin dapat menjadi semakin melemah.
Di sisi lain, Indonesia nantinya bisa mengharapkan bantuan dari negara-negara lain.
“Menurut saya, ada dua tujuannya, untuk meningkatkan posisi tawar untuk mendapatkan akses lebih besar di bidang keamanan, misalnya pembelian senjata, dukungan politik, dst. Bagian dari strategi Prabowo nanti untuk membuka pasar yang lebih luas dengan kerja sama ekonomi di luar negara-negara mainstream Barat,” terang Dafri.
Pergeseran orientasi ini oleh Dafri dinilai dipengaruhi oleh dinamika politik domestik Indonesia. “Jadi, jangan-jangan kenapa kita sekarang dekat sekali dengan China, padahal dulu Prabowo seperti terlihat anti-China dari orasi-orasinya, itu dipengaruhi oleh kekuatan politik di dalam negeri, termasuk dalam hal ini pengusaha,” papar Dafri.
Dengan pergeseran orientasi politik luar negeri yang terjadi ini menunjukkan bahwa Indonesia belum dapat menjalankan politik bebas aktif yang murni sesuai dengan konsep yang ada.
“Di era Soekarno kita sangat dekat dengan Timur, tapi di era Soeharto kita dekat dengan Barat. Tidak bisa dikatakan sebagai bebas aktif, lebih bisa dikatakan sebagai pragmatisme. Kita tidak peduli lagi, mau barat, mau timur, kalau dia menguntungkan ya, jadi teman kita. Jadi bukan bebas aktif seperti yang dikonsepkan. Saya melihat ke depannya juga oleh Prabowo tidak akan murni,” pungkasnya. (AGT/N-01)