SETOP impor pangan berbagai komoditas strategis, antara lain beras, jagung, gula, dan garam akan dilakukan pemerintah pada tahun ini.
Keputusan tersebut bahkan telah diumumkan setelah rapat terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden bersama sejumlah menteri terkait pada akhir Desember silam ini,
Hal ini menjadi upaya pemerintah untuk meningkatkan swasembada pangan dengan fokus pada peningkatan produksi dalam negeri.
Guru Besar Bidang Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian UGM, Prof. Subejo, S.P., M.P., Ph.D., mengatakan untuk mencapai target kebijakan stop impor bukan perkara yang mudah.
Menurutnya sektor pertanian beserta sektor kelautan dan perikanan sebagai penopang ketahanan pangan masih menghadapi banyak kendala dan belum terselesaikan.
“Mempertimbangkan data impor komoditas strategis pada beberapa tahun terakhir, nampaknya program stop impor dalam satu tahun ini sangat sulit, rentang tiga sampai empat tahun masih lebih realistis,” ujar Subejo, Selasa (7/1).
Semangat dan gagasan untuk menghentikan impor pada komoditas beras, jagung, gula, dan garam sangatlah baik dan perlu diapresiasi.
Namun akan memiliki dampak yang sangat kompleks terhadap ketahanan pangan nasional.
Ia menyodorkan fakta dan data bahwa dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan impor keempat komoditas strategis tersebut masih sangat tinggi.
Sebagai contoh pada komoditas beras masih menyentuh angka 3 juta ton per tahun, sedangkan jagung mendekati 1 juta ton per tahun.
Bahkan pada komoditas gula menyentuh angka impor yang sangat impresif senilai 4 juta ton per tahun.
Hal serupa juga terjadi di komoditas garam dengan angka impor mencapai 2 juta ton per tahun.
Ia menyebut hal itu sebagai ironi mengingat 63 persen wilayah Indonesia merupakan perairan dengan garis pantai yang panjang.
“Untuk menutup kekurangan tersebut, kapasitas produksi domestik dan ketahanan sektor pangan harus meningkat sangat signifikan dengan berbagai macam pra-syarat,” ujarnya.
Seperti ketersedian lahan produksi, infrastruktur, akses terhadap input, pembiayaan, SDM, teknologi dan inovasi, serta tata kelola dan kelembagaan yang memadai.
Setop imp0r pangan dan dukungan infrastruktur
Di lain sisi, skala usaha pertanian yang sangat kecil menjadi perhatian Subejo.
Data Sensus Pertanian di tahun 2023 menunjukkan petani yang mengelola lahan seluas 1.000 meter persegi hanya sejumlah 7 juta petani.
Meskipun mengalami peningkatan sekitar 70 persen dibandingkan 10 tahun sebelumnya, namun layanan penyuluhan dan kapasitas SDM petani masih terbatas.
“Pembukaan lahan-lahan pertanian baru yang memiliki kesesuaian tinggi dalam skala terbatas dan manageable harus dilakukan secara bertahap,” jelasnya.
Hal lainnya infrastruktur irigasi salah satu hal yang sangat menentukan bagi petani bisa menanam komoditas pertanian dengan baik atau tidak.
Ia menjelaskan, keberhasilan kebijakan stop impor ini sangat bergantung pada kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan petani.
Peran sektor swasta dan investor memiliki peran penting dalam mendukung kebijakan stop impor yang digaungkan oleh Pemerintah.
“Sektor swasta juga dapat melakukan investasi dalam teknologi pertanian, sebagai contoh pemanfaatan Internet of Things (IoT), pengolahan pasca panen dan penyimpanan untuk memudahkan distribusi, serta dengan memberikan bantuan pembiayaan,” katanya. (AGT/S-01)