
PARA atlet yang akan bertanding di ajang Pekan Paralimpiade Nasional XVII Solo 2024 menjalani prosedur tes klasifikasi fisik di Stadion Manahan.
“Tes ini bertujuan untuk mengelompokkan kategori masing-masing atlet sesuai dengan hambatan serta derajat disabilitasnya,” ungkap Sekretaris Pelaksana PB Peparnas XVII, Rima Ferdianto di Stadion Manahan, Sabtu (5/10).
Menurut dia, proses klasifikasi menjadi salah satu bagian terpenting dalam setiap pelaksanaan ajang multievent olahraga disabilitas, termasuk Peparnas XVII di Solo.
Jadi acuan
Dari prosedur tes itu, lanjut dia, menjadi acuan apakah atlet yang hendak berpartisipasi memang layak bertanding pada nomor yang akan diikuti.
Rima juga membeberkan, proses pengelompokan atlet berdasarkan derajat keparahan disabilitasnya. Artinya, atlet memiliki derajat keparahan rendah tidak bisa diadu dengan yang derajat keparahannya tinggi.
“Contohnya atlet kursi roda yang disabilitasnya karena polio. Itu kan pinggangnya masih kuat. Ini tidak bisa diadu dengan atlet kursi roda yang paraplegia dan tetraplegia, karena disabilitas semacam ini dari pinggang ke bawah lemah,” kata Rima, Sabtu (5/10/2024).
Tingkat kelumpuhan
Perlu diketahui, bahwa paraplegia merupakan kelumpuhan pada anggota gerak separuh tubuh dari pinggul ke bawah. Sedang tetraplegia adalah kelumpuhan yang menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi pada lengan, tungkai, badan dan panggul.
Karena itulah perlunya prosedur klasifikasi untuk menentukan seberapa parah tingkat gangguan disabilitasnya. Jadi, jika mereka derajatnya sama, maka saat diadu diharapkan lebih imbang. Klasifikasi ini bertujuan memenuhi asas keadilan,” lugas Rima.
Yang jelas, babak klasifikasi untuk mengklasifikasikan atlet dengan hambatan fisik, hambatan intelektual, hambatan pendengaran, dan hambatan penglihatan. Empat hambatan ini akan kembali diklasifikasikan berdasarkan cabang olahraga masing-masing.
Atlet baru
Rima menerangkan, proses klasifikasi hanya diperuntukkan bagi atlet-atlet baru yang bakal bertanding di Peparnas XVII. Sebab, atlet-atlet yang sudah masuk dalam kategori elite tak perlu lagi mengikuti, mengingat mereka sudah mengantongi kartu klasifikasi internasional.
“Jadi, yang perlu diklasifikasikan ialah atlet baru atau atlet yang sudah diklasifikasi tetapi dengan catatan review. Mereka hanya tinggal diklasifikasikan ulang. Sementara atlet yang berkompetisi di nomor elite tidak perlu mengikuti klasifikasi, sebab sudah memiliki klasifikasi internasional yang statusnya lebih tinggi dari Peparna XVII ini,” sergah dia.
Disambut atlet
Sejumlah atlet mengatakan senang dengan pelaksanaan prosedur klasifikasi. Seperti atlet para menembak yang akan mewakili Kepulauan Riau, Jamaluddin, menyatakan senang bisa melewati proses klasifikasi ini dengan lancar.
Usai melalui tes klasifikasi, dia akan mengikuti kelas SH 1 sesuai dengan karakter disabilitasnya. Peparnas di Solo merupakan penampilan kedua setelah edisi Papua pada 2021.
Kala itu, Jamaludin gagal membawa pulang medali karena hanya finis di peringkat kelima. Untuk edisi kali ini, ia menarget satu emas.
Pada cabor menembak ada kelas SH 1 dan SH 2. Kalau SH 1 itu klasifikasi disabilitasnya ialah kaki, sedangkan SH 2 itu di salah satu tangannya harus ada disabilitas,” ujar Jamaluddin.
Pengelompokan atlet
Atlet lainnya, Poncowolo yang mewakili Kalimantan Timur di cabor para panahan mengaku memahami regulasi yang ditetapkan dalam pengelompokan atlet disabilitas.
“Ada atlet elite dan non-elite. Atlet elite ini adalah mereka yang sudah pernah mengikuti ASEAN Para Games, Asian Para Games, dan Paralimpiade. Sedangkan atlet non-elite ini adalah yang belum pernah tampil di ajang multievent internasional,” ungkap dia.
Menurut perkembangan olahraga disabilitas di Indonesia sudah semakin maju. Hal ini dia saksikan sendiri setelah mengikuti dua edisi Peparnas sebelumnya, yakni di Riau pada 2016 dan Papua pada 2021. (WID/N-01)