KONSEP zaken kabinet atau kabinet zaken atau kabinet yang diisi menteri-menteri dari kalangan cerdik pandai kembali mengemuka menjelang pergantian pemerintahan. Istilah kabinet zaken di Indonesia muncul pertama pada masa pemerintahan dipimpin Perdana Menteri Djuanda atau di Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 5 Juli 1959).
Demikian juga pada pemerintahan kabinet berikutnya, Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951), dan kemudian Kabinet Wilopo adalah kabinet zaken yang dipimpin oleh Perdana Menteri Wilopo (3 April 1952 sampai dengan 3 Juni 1953).
“Definisi normatif Zaken Kabinet adalah kabinet yang terdiri dari kombinasi teknokrat, profesional, dan politisi,” ujar Dr. rer.pol. Mada Sukmajati, M.PP., Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Rabu ( 9/10) di kampus Fisipol UGM.
Berbeda dengan konteks penerapan Zaken Kabinet saat ini, mengingat adanya perbedaan sistem politik. Pada era Kabinet Djuanda, katanya, Indonesia menganut sistem parlementer, sedangkan saat ini sistem presidensial.
Tantangan dan dilema
Meski demikian, Mada melihat bahwa beberapa tantangan dan dilema yang dihadapi tetap serupa, terutama terkait akomodasi kekuatan politik dan kebutuhan untuk segera menghasilkan kebijakan yang efektif.
“Baik di masa Djuanda maupun saat ini, ada kebutuhan untuk menjaga stabilitas politik, sehingga mengakomodasi kekuatan politik adalah suatu keharusan,” jelasnya.
Menurut dia, satu tantangan besar dalam pembentukan Zaken Kabinet di era modern adalah menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan. Dua hal ini menurutnya sebagai dilema kelembagaan dalam penerapan Zaken Kabinet di Indonesia.
Multipartai
Kombinasi sistem presidensial dengan multipartai sering kali menciptakan tantangan bagi presiden dalam memilih antara mengakomodasi semua partai pendukung atau membatasi kabinet hanya pada teknokrat dan profesional.
“Jika prioritasnya adalah stabilitas politik, maka mengakomodasi sebanyak mungkin partai politik bisa menjadi pilihan, meski ini bisa memperlambat realisasi program-program pemerintah,” kata Mada.
Dikatakan, pembentukan kabinet yang lebih banyak diisi oleh teknokrat dan profesional dapat mempercepat implementasi kebijakan, tetapi bisa berisiko melemahkan dukungan politik.
Selain itu, Mada juga menyoroti bahwa insentif untuk oposisi dalam sistem politik Indonesia sangat minim, sehingga menyebabkan partai-partai lebih memilih untuk berada dalam pemerintahan daripada di luar pemerintahan.
“Di Indonesia, menjadi oposisi tidak memberikan akses yang memadai terhadap sumber daya negara, sementara partai-partai di dalam kabinet dapat memanfaatkan posisi mereka untuk memperkuat basis politik di daerah,” jelasnya.
Masih relevan
Ada kecenderungan partai-partai politik untuk selalu mencari posisi dalam kabinet, meskipun hal itu dapat mempengaruhi efektivitas pemerintahan.
Namun Mada menjelaskan pola Zaken Kabinet sebenarnya sudah mulai terbentuk sejak era Presiden SBY dan dilanjutkan di era Presiden Jokowi, terutama pada posisi strategis seperti Menteri Keuangan dan Menteri Luar Negeri.
“Posisi-posisi strategis seperti Menteri Keuangan dan Menteri Luar Negeri biasanya diisi oleh teknokrat atau profesional, karena objektivitas dalam mengambil kebijakan publik sangat diutamakan di posisi ini,” kata Mada.
Dengan mengacu pada konteks kelembagaan di Indonesia saat ini, Mada menyatakan bahwa model Zaken Kabinet masih relevan dan bisa menjadi opsi dalam pemerintahan ke depan, terutama untuk menjaga keseimbangan antara politik dan profesionalisme dalam pemerintahan. (Agt/N-01)