
RENCANA Menteri Kesehatan RI, Budi Gunawan Sadikin yang akan meningkatkan kapasitas tukang gigi guna memenuhi kebutuhan dentist atau dokter gigi di Indonesia patut dipertanyakan.
Pasalnya, ‘tukang gigi’ bukanlah tenaga profesional yang memiliki latar belakang pendidikan formal bidang kesehatan. Meski kemudian Kemenkes akhirnya mengklarifikasi dengan menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘tukang gigi’ itu merupakan Terapis Gigi dan Mulut (TGM) yang mana dimaksudkan adalah perawat gigi yang memang menjalani pendidikan formal.
Usulan tukang gigi praktek di puskesmas jelas memiliki risiko besar yang nantinya justru dapat membahayakan pasien. Sebab mereka yang menamakan ahli gigi tersebut tidak berbasis ilmu kesehatan.
Tukang gigi atau sekarang disebut ahli gigi itu sebenarnya tidak termasuk dalam kategori tenaga kesehatan.
Tersentralisasi di Jawa
Guna menjawab soal kebutuhan dokter gigi yang masih minim di daerah, Kemenkes harus melakukan pengecekan data mengenai jumlah dokter gigi yang ada dan aktif di setiap fasilitas kesehatan terutama puskesmas. Karena mayoritas tenaga medis saat ini tersentralisasi di Pulau Jawa.
Mayoritas lulusan yang menjadi dokter gigi tersebar di seputar daerah yang ada perguruan tinggi yang memiliki kedokteran gigi.
Dorong PT buka FKG
Untuk itu pemerintah harus terus mendorong universitas di luar Jawa untuk membuka Fakultas Kedokteran Gigi. Bukan hanya dari sisi SDM, namun juga didukung alat dan fasilitas di setiap faskes.
Kerja sama antara Kemenkes dan Fakultas Kedokteran Gigi dapat menjadi solusi yang bisa ditawarkan untuk menjawab permasalahan tersebut. FKG di berbagai perguruan tinggi pasti siap membantu pekerjaan rumah pemerintah terkait dengan pemerataan maupun pemenuhan tenaga kesehatan terkhusus atau tenaga medis gigi.
Preventif
Terkait temuan Kemenkes banyaknya kasus gigi berlubang dari hasil pemeriksaan kesehatan gratis, pemerintah sebaiknya tidak hanya fokus pada tahap kuratif atau pengobatan saja namun juga melakukan upaya promotif dan preventifnya dengan melibatkan organisasi profesi untuk menjalankan program-program yang telah dirancang.
Terlebih mengenai pengambilan keputusan yang berdampak untuk masyarakat luas. Organisasi profesi memiliki cabang di setiap daerah sehingga harapannya kebijakan yang akan diterapkan bisa merata. (AGT/N-01)
(Prof. drg. Suryono, SH., MM., Ph.D, Dekan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Gadjah Mada)