GURU BESAR Bidang Ilmu Media dan Jurnalisme Fakultas Psikologi dan Ilmu Budaya Universitas Islam Indonesia, Prof. Masduki mengungkapkan ada kesamaan antara profesi jurnalis dengan profesi akademisi. Keduanya, membawa misi produksi dan disemonasi pengetahuan sebagai public goods.
“Kedua profesi ini, jurnalis dan akademisi ibarat dua sisi mata uang, bersentuhan langsung dengan kepentingan publik dan saling melengkapi,” kata Masduki saat menyampaikan Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Universitas Islam Indonesia, Selasa (25/6) di kampus Universitas Islam Indonesia.
Sebagai dua sisi mata uang, ujarnya, jurnalis dan akademisi juga menghadapi tekanan struktural yang tinggi sejak Orde Bary hingga pascareformasi ini. Meski menghadapi tekanan yang sama, kedua profesi ini menjadi berbeda karena jurnalisme dan jurnalis tetap terus berada di lapangan, memberi warga bagi demokratisasi informasi. Sedangkan akademisi justru tersandera dalam ruang gelap atau 9dark academia) peradaban.
Masduki yang pernah menekuni dunia kewartawanan ini mengungkapkan lebih jauh kemudian beralih sebagai akademisi mengungkapkan pula Ilmu Komunikasi di Indonesia belum
mampu menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Menurut dia Ilmu Komunikasi juga belum dapat menjawab kompleksitas persoalan sosial dan justru dipandang sebagai pendukung pembangunan dan industrialisasi.
“Alih-alih menjadi mitra kritis, Ilmu Komunikasi justru melakukan adjustment kebijakan developmentalisme yang menjadi mantra politik liberalisme dan kontrol industri digital global,” katanya.
Pendidikan Komunikasi ujarnya, bukan seperti yang digambarkan Freire sebagai pembebasan manusia. Komunikasi justru menjadi bagian dari politik penundukan.
Ia menambahkan rezim Orde Baru yang sangat kuat, juga mencengkerap erat orientasi kerja akademisi lewat jargon pembangunanisme dengan komunikasi sebagai peranglat apparatus-nya.
“Setelah Soeharto jatuh tahun 1988, fenomena terbalik muncul di mana segala warisan kebijakan pendidikan otokratik warisan Soeharto dilawan, iklim baru demokratisasi komunikasi yang berbasis pada logika kompetisi pasar menjadi spirit baru pengkajian,” katanya.
Ia menambahkan, bersamaan masih kuatnya mazhab developmentalisme, terjadi adaptasi dan akomodasi kepada kekuatan pasar media dan komunikasi yang liberalistik, dan adopsi
pendekatan kajian lintas ekonomi-politik dan cultural studies yang bercorak kritis pada kurikulum. (AGT/S-01)