
KAJIAN Risiko Bencana (KRB) sebuah Instrumen penting yang harus dimiliki oleh daerah. Namun hingga saat ini baru 50% daerah baik di kabupaten maupun kota yang memiliki KRB.
Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Raditya Jati, menekankan bahwa KRB menjadi instrumen penting dalam perencanaan mitigasi bencana.
“Saat ini, baru sekitar 50% dari kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki KRB, sehingga percepatan penyusunan KRB menjadi prioritas,” jelas Raditya dalam keterangannya, Rabu (12/2).
BNPB bersama Kementerian Keuangan menyelenggarakan Bimbingan Teknis Kajian Risiko Bencana di Kota Bogor, mulai 11-15 Februari 2025.
Kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat penyusunan Kajian Risiko Bencana guna mendukung skema pendanaan Pooling Fund Bencana (PFB).
Sebagai upaya strategis dalam mitigasi bencana di Indonesia.
Raditya menambahkan peta bahaya nasional yang lebih akurat dan seragamnya standar kajian juga menjadi kebutuhan utama dalam penyusunan dokumen ini.
“Bencana bukan hanya karena faktor alam semata, tetapi juga akibat perubahan tata guna lahan dan perencanaan ruang yang tidak tepat,” ujarnya.
“Kajian risiko bencana harus dapat mengidentifikasi potensi bahaya serta faktor pemicu lainnya seperti kerusakan lingkungan,” lanjutnya.
Pada kesempatan sama, Direktur Pemetaan dan Evaluasi Risiko Bencana BNPB Udrekh menegaskan bahwa PFB menjadi solusi pendanaan yang memungkinkan daerah mendapatkan sumber daya untuk penyusunan KRB.
PFB tidak hanya difokuskan pada pendanaan saat tanggap darurat dan pemulihan pasca-bencana.
Tetapi juga digunakan untuk mendanai program pra-bencana guna mengurangi potensi risiko dan kerugian ekonomi.
Dengan PFB, Pemerintah Indonesia dapat mengalokasikan dana untuk mitigasi dan kesiapsiagaan.
Sehingga dampak bencana dapat diminimalisir dan memiliki standar yang jelas karena kondisi geografis dan kebutuhan daerah berbeda-beda.
Kajian Risiko Bencana dan dukungan pendanaan
Dalam implementasinya, BNPB bertanggung jawab untuk melakukan penelaahan, verifikasi, dan evaluasi terhadap pengajuan pendanaan dari PFB.
Proses ini melibatkan Kemenkeu, Kemendagri, Bappenas serta , Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan .
Kepala Divisi Penyaluran Dana Program Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup Kemenkeu, Tumbur Harapan Jaya menambahkan bahwa mekanisme PFB bertujuan untuk memberikan fleksibilitas dalam pendanaan kebencanaan.
Dengan memanfaatkan dana yang sudah ada secara lebih efektif.
Ia menegaskan bahwa PFB tidak hanya ditujukan untuk tanggap darurat, tetapi juga untuk mitigasi mengurangi dampak bencana.
Menurutnya sinergi antara BNPB, Kemenkeu dan pemerintah daerah sangat penting dalam memastikan keberlanjutan program ini.
Dana awal PFB dapat diinvestasikan untuk meningkatkan kapasitas pendanaan jangka panjang sehingga lebih responsif terhadap kebutuhan daerah terdampak bencana.
Sedangkan Direktur Pemetaan Tematik Badan Informasi Geospasial (BIG) Gatot Haryo Pramono menyoroti pentingnya penerapan Kebijakan Satu Peta dalam penyusunan KRB.
Adanya integrasi data geospasial dari berbagai kementerian dan lembaga, KRB yang dihasilkan dapat lebih akurat. (*/S-01)