PENANGANAN sampah di Indonesia saat ini masih lebih banyak menggunakan sistem kumpul-angkut-buang. Sistem itu sesungguhnya memilik banyak kelemahan, salah satunya adalah pemenuhan lahan untuk TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang semakin sulit didapat dan semakin terbatas.
Selain terjadinya persaingan untuk memanaatkan lahan untuk aktivitas lain seperti pemukiman, pertanian dan perdagangan serta peruntukan lainnya, juga muncul penolakan kuat di kalangan masyarakat yang pada akhirnya dapat menjadi konflik sosial.
Biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan sebuah TPA juga sangat tinggi yang dapat mencapai Rp13,8 miliar per hektare, belum lagi dengan biaya operasional yang berkisar Rp80 hingga Rp876 ribu per ton sampah yang masuk ke TPA.
Secara total se Indonesia diperkirakan membutuhkan biaya sebesar Rp33 triliun per tahun untuk aktivitas pengelolaan sampah. Tentunya menjadi biaya yang sangat besar untuk mengolah sampah di akhir sebuah sistem atau end off pipe.
Cegah pilah olah
Seharusnya penanganan sampah dimulai sejak dari sumbernya melalui aktivitas cegah-pilah-olah atau dikenal dengan prinsip cradle to grave, sehingga beban di akhir sistem menjadi lebih rendah.
Perjalanan panjang sampah pada umumnya dalam sistem perkotaan dimulai sejak dari sumbernya (pemukiman, sekolah, perkantoran, aktivitas perdagangan dan lainnya) menuju pengumpulan hingga transit di Tempat Penampungan Sementara (TPS) sebagai transfer point, kemudian dilanjutkan dengan aktivitas pengangkutan hingga berakhir ke TPA.
Aliran sampah ini, selain menjadi aliran energi juga menjadi aliran pendanaan yang harus ditutupi daerah agar sampahnya dapat disimpan di tempat yang aman. Berikut adalah ilustrasi perjalanan sampah sejak dari sumbernya dengan berbagai pola yang terjadi di Indonesia.
Data dari laporan kinerja pengelolaan sampah nasional tahun 2023, terdapat 38% sampah yang belum terkelola. Sedangkan 62% sampah terkelola masih berakhir di TPA, menyebabkan sebagian besar TPA di Indonesia kelebihan kapasitas atau over capacity. Dengan pola produksi yang sama maka daya dukung dan tampung TPA nasional akan terlampui pada 2028 atau bahkan lebih cepat.
Open dumping
Hingga 2024, hanya 6 provinsi (Kepulauan Riau, Jawa Barat, Banten, Kalimantan Selatan, Bali dan Jakarta) yang memiliki proporsi anggaran penanganan sampah lebih besar dari 1% dari total APBD.
Di provinsi lainnya, pada 2024 anggaran yang disediakan pada kisaran 0,6%. Hal itu menyebabkan operasional TPA menjadi open dumping sebesar 21,85% seharusnya statusnya adalah controlled atau sanitary landfill, bahkan ada yang tidak dikelola dan terbuang ke lingkungan, angka ini mencapai 39,14%.
Sebagai rumah bagi 3,5% populasi dunia, Indonesia memiliki tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan penduduknya, mulai dari layanan publik hingga pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.
Pertumbuhan penduduk
Dalam satu dekade terakhir, pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata mencapai 1,1% per tahun, menambah hampir 3 juta jiwa setiap tahunnya. Jumlah tersebut berbanding lurus dengan potensi sampah yang dihasilkannya yaitu mencapai 70,8 juta ton per tahunnya pada tahun 2025, atau dengan kata lain kuantitasnya mendekati 194 ribu ton setiap harinya dan 8 ribu ton per jam nya.
Diprediksi hingga 2045, Indonesia berpotensi menghasilkan 82,2 juta ton sampah per tahunnya.
Dengan kuantitas tersebut, menjadikan sampah menjadi salah satu masalah yang serius dihadapi oleh Indonesia. Data yang menunjukkan kuantitas sampah yang dihasilkan terus mengalami peningkatan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Menghadapi kompleksitas pengelolaan sampah tersebut, maka sudah saatnya untuk menerapkan pendekatan untuk penerapan solusi yang inovatif dan adaptif terhadap tantangan masa depan. Penting untuk mengutamakan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta dalam menciptakan solusi berkelanjutan yang mampu mengatasi persoalan struktural, teknis, dan finansial.
Keseimbangan lingkungan
Dalam upaya memahami dan menjaga keseimbangan lingkungan, penting bagi kita Hulu, Tengah, Hilir untuk terus memperdalam makna “UII Mengerti Bumi” melalui tindakan nyata yang berorientasi pada keberlanjutan.
Dengan memahami kebutuhan lingkungan dan dampak aktivitas manusia,
kita dapat menciptakan solusi yang tidak hanya mengatasi tantangan saat ini, tetapi juga memastikan kelestarian bumi bagi generasi mendatang.
Dengan visi yang jelas dan komitmen yang kuat, Indonesia memiliki peluang besar untuk bertransisi dari kesadaran akan masalah sampah menuju aksi konkret yang mendorong Zero Waste Society. Tidak hanya mengelola sampahsecara efektif, tetapi juga memanfaatkannya sebagai sumber daya yang mendukung pembangunan hijau dan keberlanjutan lingkungan. (AGT/N-01)
(Dr. Hijrah Purnama, Dosen Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia)