
REGULASI pertanahan mengizinkan pemberian hak atas tanah di perairan sepanjang ada penggunaan tanah di bawah air untuk aktivitas seperti pembangunan pelabuhan, hotel maupun fasilitas lainnya.
Namun dalam kasus di perairan Tangerang, ada ketidak-sinkronan regulasi antara Hukum Pertanahan dan perairan. Jadi pertanyaan untuk apa pemasangan pagar tersebut.
Kasus pagar laut ini perlu ditelaah lebih jauh dari sisi legalitas, terutama terkait izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Jika pagar tersebut dipasang tanpa KKPRL, maka tindakan tersebut ilegal. Sebaliknya, apabila ada KKPRL, maka hal itu sah secara hukum.
Yang menjadi perhatian adalah bagaimana izin tersebut diperoleh, apakah melalui prosedur yang benar dan apakah dampaknya terhadap akses nelayan telah diperhitungkan.
Selain legalitas, luas area pagar yang mencapai 30,6 kilometer juga menjadi pertanyaan. Pemancangan batas di laut sebenarnya bukan hal baru seperti pada budidaya rumput laut atau alat tangkap nelayan.
Polemik ini menjadi semakin kompleks setelah adanya laporan dari nelayan mengenai berkurangnya hasil tangkapan dan kerusakan alat tangkap akibat serpihan bambu dari pagar tersebut. Langkah pencabutan pagar pun telah dilakukan oleh pihak berwenang.
Karena itu pentingmenyimpan sebagian pagar sebagai barang bukti untuk proses hukum selanjutnya apabila kasus ini dibawa ke ranah pidana. Yang pasti penyelesaian kasus ini harus berfokus pada aspek hukum.
Pemahaman yang benar mengenai aturan sangat penting. Jangan sampai kasus ini justru ditarik ke ranah politik. Mari kita sikapi dengan mematuhi regulasi yang ada, baik dari segi pertanahan, tata ruang, maupun perlindungan nelayan (AGT/N-01)
(Dr. Rikardo Simarmata, Pakar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada)