
DEKAN Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Budi Setiadi Daryono, M.Agr.Sc., Ph.D., mendesak pemerintah untuk menutup dan tidak membuka kembali aktivitas pertambangan di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Menurutnya, Raja Ampat merupakan salah satu ekosistem laut paling utuh di dunia, dengan lebih dari 550 jenis karang dan 1.400 spesies ikan. Kawasan ini berperan penting sebagai zona pemulihan alami bagi berbagai biota laut.
“Jika kawasan ini rusak akibat tambang, kerugiannya bukan hanya secara ekologis, tetapi juga secara ekonomi. Ekosistem yang dijaga tetap sehat justru berpotensi besar untuk dikembangkan melalui ekowisata dan perikanan berkelanjutan,” ujar Prof. Budi, Senin (23/6).
Ia menegaskan, arah pembangunan Raja Ampat seharusnya berfokus pada sektor ramah lingkungan yang memberikan manfaat langsung bagi masyarakat lokal, bukan pertambangan.
“Konsep kesejahteraan dari pertambangan tidak merata. Sebaliknya, perikanan dan ekowisata memberikan distribusi ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan,” tambahnya.
Tambang Ancam Ekosistem Darat dan Laut
Prof. Budi menyoroti bahwa aktivitas pertambangan tak hanya merusak daratan, tetapi juga mengancam ekosistem laut. Sedimentasi dari tambang dapat memperkeruh air laut, mengurangi penetrasi cahaya matahari, dan mematikan ekosistem seperti terumbu karang, lamun, ganggang, hingga mikroalga.
“Penggunaan bahan kimia dalam proses tambang juga menyebabkan polusi air yang berbahaya. Dampaknya bisa kembali ke manusia melalui rantai makanan laut,” jelasnya.
Dekan Biologi UGM Prof. Budi mendorong pemerintah mengedepankan pendekatan pembangunan berkelanjutan yang berpihak pada kelestarian alam dan kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang.
“Apalagi dalam budaya kita, kearifan lokal telah lama mengajarkan kecintaan terhadap ekologi secara bertanggung jawab,” pungkasnya. (AGT/S-01)