
DAMPAK utama ketidakpastian global terhadap ekonomi Indonesia saat ini dikarenakan oleh geopolitik.
Selain itu proteksionisme, dan volatilitas pasar keuangan melemahkan rupiah, mengancam ekspor, dan menekan daya beli masyarakat Indonesia.
“Terjadinya penguatan dolar AS saat ini akibat kebijakan The Fed meningkatkan beban utang luar negeri dan harga impor, meskipun BI-Rate 5,75% membantu stabilitas keuangan,” kata Pengamat ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Muhammad Edhie Purnawan, M.A., Ph.D, Selasa (29/4).
Menurut dia, sektor perbankan akan menghadapi tanangan yang paling berat.
Dengan aset Rp12.000 triliun, saat ini perbankan menghadapi tantangan antara lain disrupsi digital, tekanan likuiditas, dan risiko kredit.
Bank harus terus berinovasi guna memperkuat likuiditas, dan mengelola risiko secara cerdas untuk mendorong inklusi keuangan dan pertumbuhan ekonomi menuju visi 2045.
“Fintech menggerus pangsa pasar karena konsumen millennial, yang merupakan 54% populasi produktif, menginginkan layanan cepat dan murah,” jelasnya.
Menurutnya bank perlu investasi besar pada teknologi seperti open banking dan AI, sambil melindungi diri dari ancaman siber.
Tekanan likuiditas muncul akibat aliran modal keluar karena suku bunga global tinggi dan konflik energi melemahkan rupiah dan marjin keuntungan.
Melalui koordinasi moneter-fiskal, ketahanan pangan, digitalisasi UMKM, dan diplomasi ekonomi. Langkah ini akan memperkuat kedaulatan ekonomi.
Sementara BI perlu mempertahankan BI-Rate 5,75% dan operasi pasar terbuka untuk stabilisasi rupiah, serta menjaga rasio nilai kredit dan pembiayaan.
Ekonom FEB UGM lainnya, Sekar Utami Setiastuti, S.E., M.Sc., Ph.D., menyebutkan sektor yang paling rentan terkena dampak ketidakpastian global adalah sektor manufaktur berbasis ekspor.
Terutama industri tekstil, alas kaki, elektronik, serta sektor komoditas primer seperti kelapa sawit, karet, dan produk perikanan.
Pasalnya, perusahaan manufaktur umumnya memiliki ketergantungan pada pasar ekspor utama, seperti Amerika Serikat dan China.
Ini membuat mereka sangat rentan terhadap perubahan kebijakan tarif dan perlambatan permintaan global.
Untuk mengatasi kerentanan ini, strategi diversifikasi pasar ekspor perlu dipercepat, dengan mengembangkan akses ke emerging markets di wilayah Asia Selatan, Afrika, dan Timur Tengah. (AGT/S-01)