LEMBAGA Ombudsman RI mencurigai kemungkinan adanya modus nakal di balik upaya mempailitkan perusahaan raksasa tekstil Sritex. Apalagi Undang-Undang Kepailitan dinilai pernuh persoalan, hingga perlu dikoreksi .
“Banyak modus modus di balik upaya kepailitan. Biasa itu sebagai langkah untuk mengambil alih perusahaan dan mengambil keuntungan di balik derita orang lain,” ungkap Ketua Ombudaman RI, Mokhamad Najih seusai berdialog dengan manajemen Sritex di pabrik tekstil Sritex, Sukoharjo, Selasa ( 12/11).
Namun begitu ia menegaskan, bukan urusan lembaga Ombudaman RI untuk urusan pencabutan kepailitan di Mahkamah Agung. Sebaliknya hal itu menjadi urusan dan kewajiban Sritex.
“Yang menjadi kewajiban Ombudsman adalah bagaimana mengusulkan kepada pemerintah, untuk perubahan regulasi yang berpotensi administrasi,” tegas dia.
Dia melanjutkan, indikasi administrasi adalah merugikan publik. Dan Ombudsman melihat bahwa persoalan undang undang kepailitan itu merupakan sindikasi yang dinamakan burung pemakan bangkai.
Siap telisik
Gambaran sederhananya, dia mencontohkan Sritex, yakni ketika ada suplier yang memiliki tagihan Rp100 miliar, membangkrutkan mereka yang memiliki total utang Rp20 triliun.
“Utang Rp100 miliar itu kan cuma 0,05% dari total utang Sritex yang mencapai RpRp 20 triliun. Coba bayangkan bagaimana caranya Rp100 miliar bisa membangkrutkan sebuah perusahaan besar yang memiliki kewajiban melunasi utang Rp20 triliun,” katanya.
Karena itu, Ombudsman RI akan mempelajari lagi UU Kepailitan agar jangan sampai digunakan oleh oknum-oknum yang ingin mencari keuntungan dan tendensius.
“Kenapa disebut tendensius. Karena benefit yang didapatkan (kurator) dalam masalah kepailitan sangat besar. Misal kurator dapat fee 10%. Itu misal saja, seperti Sritex yang punya utang Rp20 triliun, dari penjualan akan dapat Rp2 triliun,” ungkap dia.
Kurator dan hakim
Dalam kasus upaya kepailitan Sritex setidaknya ada 4 kurator dan satu hakim pengawas. Dan misal.yang terjadi langkah perdamaian, maka dari keputusan, mereka juga dapat 50% dari utang Rp100 miliar.
Karena itu, Mokhammad Najih melihat ada persoalan di UU Kepailitan, yang kemungkinan bisa menjadi modus untuk menjatuhkan perusahaan besar yang sudah establish, memiliki karyawan banyak.
Ombudsman RI tidak akan mengintervensi apa yang menjadi proses keputusan di MA. Namun bisa saja Ombudsman RI akan menyampaikan catatan sebelum ada keputusan.
Yang jelas, jika sampai ada keputusan kepailitan di tingkat Kasasi MA itu, dampaknya Sritex tidak bisa melunasi kewajiban utangnya karena tutup, dan tentu ini merugikan bank-bank yang menjadi krediturnya.
Banjir impor jadi
Pada bagian lain Ketua Ombudsman RI ketika disinggung soal industri tekstil nasional yang semakin melemah mengatakan, karena adanya banjir impor jadi dan impor ilegal.
“Ini bukan dialami Sritex saja, tetapi hampir seluruh industri tekstil dalam negeri. Penyebabnya dua persoalan yakni banjirnya impor barang jadi dan impor ilegal,” kata dia.
Dia paparkan, meskipun pemerintah sudah memperketat masuknya impor barang jadi, tetapi masih saja hal itu masih membuat produk dalam negeri kalah bersaing.
Karena itu Ombudsman RI akan mengevaluasi regulasi regulasi teknis apa saja, yang menyebabkan impor barang jadi ini merusak industri tekstil dalam negeri.
Dia menegaskan, pemerintah harus mengutamakan industri dalam negeri, meski asing juga berkeinginan investasi di Indonesia. Termasuk mengadang impor ilegal. (WID/N-01)