
EFISIENSI anggaran pendidikan jangan mengabaikan hak-hak aktor utama penggerak sektor pendidikan yaitu guru, dosen, dan tenaga kependidikan.
Hal itu ditegaskan oleh Guru Besafr Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. R. Agus Sartono, M.B.A.
Menurutnya infrastruktur bisa ditunda 1-2 tahun, tetapi hak guru dan dosen tidak mungkin ditunda.
“Termasuk rekrutmen guru dan dosen untuk mengisi yang sudah pensiun. Kalau ini dibiarkan akan terjadi gap,” kata Agus Sartono, Senin (24/2).
Jika kesejahteraan guru dan dosen tidak terpenuhi, dikhawatirkan munculnya sinyal negatif bagi lulusan terbaik yang berkeinginan akan meniti profesi sebagai tenaga pengajar.
Ia mencontohkan negara-negara maju seperti di Eropa yang memiliki tradisi akademik kuat karena menempatkan profesi guru dan dosen pada posisi yang terhormat.
“Tanpa pendidikan, tidak akan ada peradaban. Negara maju sudah berkomitmen untuk berinvestasi dalam pengembangan sumber daya manusia,” ujarnya.
Agus Sartono menyayangkan jika pemotongan anggaran bisa berdampak pada bantuan dana beasiswa, termasuk beasiswa KIP Kuliah beasiswa Daerah 3T, beasiswa ADik dan ADEM.
Beasiswa tersebut, disebutnya sebagai instrumen untuk memutus rantai kemiskinan dan memperkecil kesenjangan sosial.
“Apabila anggaran beasiswa dipangkas tentunya semakin mempersulit masyarakat miskin untuk mengakses pendidikan tinggi,” terangnya.
Efisiensi anggaran pendidikan berdampak di daerah
Meski pemerintah berkomitmen tidak akan menaikkan uang kuliah tunggal (UKT), namun Agus menilai pemangkasan bisa memaksa PTN untuk menaikkan UKT.
“Jangan sampai pemangkasan anggaran memaksa PTN menaikkan UKT,’ ujar Agus Sartono.
“Jika intervensi pemerintah berkurang tetapi PTN diminta untuk tetap memenuhi kebutuhan dosen dan tenaga kependidikan, maka ini bisa menjadi dilema yang memicu gejolak di kampus,” lanjut
Menurut dia, pemerintah wajib mengalokasikan minimal 20% dari APBN dan APBD untuk menjalankan fungsi pendidikan. Hal ini sesuai amanat dalam UUD 1945.
Meski diakui pemerintah pusat telah memenuhi ketentuan ini dengan peningkatan anggaran pendidikan dari tahun ke tahun, namun pemerintah daerah masih mengandalkan transfer dana dari pusat.
Pemprov dan Pemerintah Kabupaten/Kota masih bergantung pada dana transfer pusat yang lebih dari 20% dari total anggaran pendidikan.
“Jika dihitung, sebagian besar dana itu digunakan untuk gaji guru, seolah-olah kabupaten/kota tidak perlu mengalokasikan dana tambahan,” jelasnya.
Hal lain yang harus mendapat perhatian soal potensi kebocoran dalam implementasi anggaran pendidikan, seperti penyaluran dana BOS dan Kartu Indonesia Pintar (KIP).
“Efisiensi anggaran memang bukanlah hal mudah. Kita sangat berharap ini jangan sampai mengorbankan masa depan anak bangsa,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa pengurangan anggaran di sektor lainnya harus tetap mempertimbangkan dampak terhadap perekonomian daerah.
Apabila belanja pemerintah untuk kegiatan seperti seminar dan FGD turun drastis maka industri perhotelan dan sektor terkait lainnya akan terdampak.
“Harus ada langkah antisipasi agar efisiensi anggaran tidak menyebabkan kontraksi ekonomi,” pungkasnya. (AGT/S-01)