![PEREMPUAN Jawa dalam catatan sejarah, tidak hanya berkutat pada urusan 'dapur-sumur-kasur', namun memiliki peranan yang sangat besar.](https://mimbarnusantara.com/wp-content/uploads/2024/12/gkrb-2.jpg)
PEREMPUAN Jawa dalam catatan sejarah, tidak hanya berkutat pada urusan ‘dapur-sumur-kasur’, namun memiliki peranan yang sangat besar dan luar biasa. Gusti Kangjeng Ratu (GKR) Bendara — salah satu putri Sri Sultan Hamengku Buwono X — mengatakan, perjalanan dalam mendefinisikan konteks dan konsep perempuan dalam kebudayaan memang mengalami pasang surut.
“Pada periode tertentu perempuan dalam kedudukan begitu luhur dengan segala keagungannya,” katanya di depan peserta Seminar dan Bedah Buku ‘Jejak Peradaban, Perempuan di Ruang Domestik, Publik dan Politik’ yang membedah buku berjudul GKR Hemas Ratu di Hati Rakyat di Yogyakarta, Sabtu (14/12).
GKR Bendara mengungkapkan, dalam Kakawin Subadra Wiwaha, perempuan diibaratkan sebagai penjelmaan bunga Srigading ( (Nyctanthes arbor-tristis) yang menyatukan kecantikannya, dengan gigi yang bercahaya, bibirnya seperti keindahan bunga Katirah, matanya bersemayam bunga Teratai Biru dan bunga Gadung yang menjulur di leher. Rambut perempuan bagai keindahan sulaman bunga Bakung.
“Para pujangga menggambarkan kecantikan perempuan serupa dengan keindahan alam yang tak terbatas,” katanya.
Relasi kerajaan
Realitas tersebut, ujarnya, berhubungan dengan relasi politik dan sosial kerajaan sebagai penanda kekuasaan seorang raja secara individual.
Di Keraton Yogyakarta, katanya sejarah perempuan yang diwakili oleh narasi permaisuri cukup prominen.
“Mereka para permaisuri itu patut diperhitungkan dalam perjalanan sejarah pemerintahan di kota kerajaan terutama di keraton-keraton Jawa bagian selatan,” jelasnya.
Berdasarkan definisinya, lanjut GKR Bendara, kata permaisuri (prameswari — Jawa) atau parama iswari merupakan terminologi Jawa yang berarti ‘langkung luhuring pawestri’ atau perempuan utama.
Posisi strategis
Pada realitas sejarah, katanya lagi, permaisuri sejak zaman Sri Sultan Hamengku Buwono I juga memegang posisi strategis dalam kemiliteran. Permaisuri, lanjutnya adalah Panglima Kesatuan Langenkusuma.
“Perempuan tidak hanya sekadar bisa berperang tetapi juga mahir dalam taktik dan strategi militer, strategi perang dan bahkan politik. Kesatuan Langenkusuma menjadi praksis muruah bagi perempuan pada paruh abad ke-19,” urainya.
Bahkan pada abad yang lebih muda, Keraton Yogyakarta mencatat adanya permaisuri yang mampu menjadi diplomat ulung, negosiator handal dan pengelola tata negara strategis yang sangat mumpuni. Permaisuri ini dalam sastra babad dikenal dengan nama Gusti Kangjeng Ratu Sultan atau Ratu Andayaningrat.
“Ia dapat disebut sebagai Srikandi dari Keraton Jawa,” katanya.
Domestifikasi
Peran perempuan di kancah strategis ini mengalami kemerosotan setelah Perang Jawa (Java Oorlog) atau Perang Diponegoro 1825-1830. Pascaperang Jawa, jelasnya, menjadi penanda tatanan baru di keraton-keraton Jawa. Peran perempuan ujarnya dikerdilkan dan mengalami kondisi yang disebut domestifikasi.
“Kondisi dan peran perempuan Jawa mengalami pasang surut sejak tahun 1375 berdasar relief Kresnayana di Candi Panataran hingga Perang Jawa,” jelasnya.
Kondisi perempuan yang mengalami domestifikasi ini, kata GKR Bendara, menjadi konsekuensi dari kondisi sosial-politik kalah perang. Dalam tatanan baru Pasca Perang Jawa, katanya, perempuan kembali menjadi objek pingit yang menempatkan gender laki-laki sebagai pelakunya.
Padahal, jelasnya, jika dilakukan telaah yang lebih lanjut, narasi peran perempuan merujuk pada gendernya yang dinamis, bukan dalam realita yang statis. (AGT/N-01)