SEBAGAI sebuah film, Gladiator II memang cukup menghibur. Apalagi bagi para penggemar film-film Hollywood. Aksi kolosol dan sinematografi di Gladiator II cukup untuk memanjakan mata.
Setelah lebih dari dua dekade, Ridley Scott memang seperti berusaha menjahit kembali nostalgia para penggemar Gladiator yang bersandar pada masa Romawi kuno. Lewat Gladiator II, ia ingin melanjutkan kisah sukses film pertama yang dirilis pada 2000 silam.
Tetapi sayangnya, hal itu seperti kurang berhasil. Meski masih bertema politik dan perebutan kekuasaan di Roma dan perubahan situasi politik, alur cerita film terkesan biasa. Tidak ada ketegangan yang menggebu.
Jika Gladiator memperkenalkan Maximus (Russell Crowe) sebagai pahlawan yang kehilangan segalanya dan membalaskan dendam dan amarahnya di Koloseum, Gladiator II berfokus pada Lucius Verus (Paul Mescal), keturunan Maximus.
Sayangnya, Lucius seperti sekadar tokoh yang menderita, bingung, melankolis dan tanpa kemarahan. Kontras dengan Russel Crowe yang memainkan peran dengan penuh amarah dan semangat balas dendam. Paul Scott mungkin memang sengaja menginterpretasikan karakter Lucius dengan cara berbeda. Namun hal itu justru tidak bisa mengimbangi sosok pendahulunya, Maximus (Russel Crowe) yang lebih ikonik.
Film fiksi
Film Gladiator II diawali dengan situasi Roma yang kacau. Dua kaisar kembar, Geta (Joseph Quinn) dan Caracalla (Fred Hechinger) yang menguasai kerajaan berambisi melebarkan kekuasaan tanpa peduli rakyat mereka yang kelaparan.
Di bawah komando Jenderal Marcus Acacius (Pedro Pascal), Roma memang berhasil menaklukan sejumlah negara. Salah satunya adalah Numidia, tempat tinggal Lucius Verus yang sudah berganti nama menjadi Hanno.
Namun sebagai seorang jenderal yang dulunya menjadi salah satu pasukan loyal Maximus, Acacius tidak suka melihat ada pertumpahan darah ketika rakyat kelaparan.
Konflik pun mulai terjadi. Dia-diam dia ingin melakukan pemberontakan. Sayangnya, upayanya terbongkar dan dia diekskusi di arena gladiator oleh para pemanah setelah para gladiator kerajaan tidak mampu membunuhnay dan Lucius juga enggan membunuhnya setelah tahu dia siapa.
Meski bersandar pada sejarah Romawi, Gladior II sejatinya film fiksi. Sebab memang banyak tokoh yang tidak sesuai sejarah. Sejumlah tokoh yang ada di film hanya rekaan.
Sejumlah adegannya pun tidak masuk di akal. Salah satunya adalah ketika koloseum, tempat pertadingan para gladiator tiba-tiba diubah jadi kolam air laut yang diisi ikan hiu untuk memangsa para gladiator yang tewas ataupun aksi seekor badak untuk melawan gladiator. Tetapi itulah Hollywood.
Namun sekali lagi film ini tetap menghibur dan layak ditonton bagi mereka yang ingin melihat kembali aksi para gladiator dan tentara Romawi.
Menggendong film
Terlepas dari itu, bagian yang cukup menarik adalah kehadiran Denzel Washington sebagai Macrinus. Dalam film tersebut Macrinus yang awalnya sebagai budak kemudian menjadi pelatih talent scouting para gladiator.
Suka atau tidak, kehadiran Denzel dalam film ini memang memberi warna tersendiri. Alih-alih menjadi tokoh durjana, Denzel-lah sejatinya yang menjadi roh dalam film Gladiator 2.
Denzel mampu membentuk Macrinus tampil sebagai pribadi yang komplek dan sukar diprediksi. Kadang dia terlihat sebagai sosok yang ramah. Namun di lain waktu ia berubah menjadi karakter yang ambisius, penuh tipu daya, dan kejam.
Alhasil, keinginan penonton untuk menyaksikan intrik-intrik dalam istana, selain duel berdarh di Koloseum, mampu diwakili Macrinus-nya Denzel. (NN/N-01)