PERHIMPUNAN Jaga Pemilu menilai Pemilu 2024 menjadi artifisial. Pasalnya, penyelenggaraan pemilu diatur sedemikian rupa melalui skenario pemenangan yang memanipulasi mekanisme prosedural dan peraturan kepemiluan.
“Analisis terhadap laporan dan temuan oleh jaga Pemilu memperlihatkan bahwa penyelenggaraan Pemilu 2024 terkontaminasi oleh berbagai praktek pelanggaran dan kecurangan,” tegas Sekretaris Perhimpunan Jaga Pemilu Luky Djani dalam keterangan pers pertama Jaga Pemilu pasca-penetapan KPU, di Jakarta, Selasa (26/3).
Sejak akhir November silam, Jaga Pemilu telah melakukan serangkaian aktivitas, yakni sosialisasi dan pendidikan publik melalui media nasional dan media sosial, pemantauan hari H dan rekapitulasi suara, verifikasi perhitungan, advokasi pelaporan kasus ke Bawaslu, dan penyajian temuan pemantauan kepada publik melalui konferensi pers dan diskusi publik.
Pada hari H pemilihan suara, Jaga Pemilu juga bekerjasama dengan jejaring organisasi masyarakat sipil dan warga memantau pemungutan dan perhitungan suara pada 14 Februari. Untuk itu mereka melibatkan 1984 relawan Penjaga Pemilu yang tersebar di 29 provinsi (241 Kabupaten/Kota; 817 Kecamatan; 1.217 Desa/Kelurahan).
Sepanjang periode 29 Agustus sampai 19 Maret, dari total 914 laporan yang diterima terdapat 658 laporan terverifikasi. Setiap 215 laporan berasal dari masyarakat dan 443 laporan dugaan pelanggaran/kecurangan dari hasil penelusuran sosial media dan media online. Dari total laporan terverifikasi, 210 laporan yang memenuhi kriteria pelaporan sesuai dengan ketentuan Bawaslu telah disampaikan kepada Bawaslu.
“Dari 210 yang dilaporkan ke Bawaslu, hanya satu yang ditindaklanjuti,” kata Rusdi Marpaung, Ketua Divisi Advokasi dan Hukum Jaga Pemilu.
Dari 658 kasus yang dianalisis, terdapat empat kategori utama pelanggaran yang berdampak langsung kepada integritas pemilu. Keempat tipologi malpraktek pemilu tersebut adalah: praktik politik pork-barrel, jual-beli suara, manipulasi administratif dan monopoli sumberdaya publik dan politisasi aparatur.
Modus vote-buying pada pemilu 2024 didominasi oleh praktek pembagian uang secara langsung selama kampanye arak-arakan, rapat dengar pendapat umum. Pembagian uang dilakukan baik secara terbuka maupun tertutup melalui broker ataupun diberikan saat acara berlangsung. Alibi yang diutarakan selalu seragam, sebagai ongkos politik ataupun biaya partisipasi dalam kegiatan kampanye.
Dari pengamatan Jaga Pemilu, politisi dan timses memahami batasan nominal yang dapat diberikan sesuai peraturan KPU. Itu sebabnya pemberian barang kepada perorangan pemilih jika dijumlahkan nominalnya di bawah ketentuan PKPU tersebut sehingga terhindar dari jeratan hukum.
Ini mengindikasikan, kata Luky, terjadinya normalisasi pelanggaran dan kecurangan pemilu di Indonesia, atau situasi new normal, di mana dimana malpraktik pemilu dianggap sebagai hal yang biasa dan terjadi pembiaran dalam penegakan hukum.
Dari teorinya, artifisial demokrasi dapat dilihat dari beragamnya pelanggaran dan kecurangan dalam setiap tahapan pemilu, dikombinasikan dengan renggangnya representasi politik, di mana hubungan antara pemilih dan politikus dipandang berlangsung secara transaksional serta manipulatif.
Berdasarkan temuan Jaga Pemilu, pelaku pelanggaran terbesar selama pemilu 2024 adalah penyelenggara pemilu. Luky Djani mengungkapkan, lebih dari setengah pelaku yang diduga melakukan pelanggaran adalah penyelenggara pemilu yaitu sebanyak 55%.
Peringkat kedua pelaku pelanggaran dan kecurangan adalah peserta pemilu calon anggota legislatif sebanyak 16%, dengan modus umum berupa upaya untuk beli suara (vote buying). Aktor selanjutnya adalah aparatur Penyelenggara Negara (10%) serta Kepala Daerah (8%).
Mantan Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan mengungkapkan, pemerintah harus melakukan evaluasi terkait temuan Jaga Pemilu tentang pelaku pelanggaran terbesar yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu.
“Angka 55% itu termasuk tinggi. Kita sudah lihat ada beberapa kasus di mana penyelenggara pemilu dijerat kasus pidana seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga beberapa daerah lainnya. Ini menunjukan suatu fakta bahwa ada masalah terkait penyelenggara pemilu, apakah ini terjadi saat mulai proses rekrutmen atau lainya. Ini tentu harus menjadi bahan evaluasi,” jelas Abhan. (RO/MN-1)