MAJELIS Musyawarah Sunda (MMS) berharap pemerintahan Prabowo-Gibran menjadi rezim yang berani dan berkeadilan. Terlebih di tengah situasi nasional dan global yang tengah bergejolak.
Pinisepuh Pemangku MMS III Ganjar Kurnia pada acara Musyawarah MMS di Kampus Universitas Padjadjaran (Unpad) Minggu (13/10), mengatakan hingga kini Provinsi Jawa Barat dan Banten, belum mendapatkan keadilan dalam masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.
“Tentu di pemerintahan Prabowo-Gibran kami berharap, masalah perimbangan keuangan pusat dan daerah ini bisa terselesaikan. Ini terjadi karena sistem perhitungan UU keuangan tersebut, tidak menghitung berapa sebenarnya jumlah yang diberikan oleh Jabar dan Banten,”
jelas Kurnia.
Akibatnya lanjut Kurnia, anggaran Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) dan lain-lain yang diterima Jabar dan Banten, lebih kecil dari Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara apalagi dengan DKI Jakarta.
Pembangunan nasional dan regional di Jabar, Banten dan DKI Jakarta yang selama ini juga masih jauh dari prinsip pembangunan berkelanjutan.
“Selain itu, MMS juga meminta pemerintah untuk menangani secara serius penataan dataran tinggi Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur), Tanam Nasional Pangarango, Gede, Salak, Kawasan Bandung Utara dan Bandung Selatan.”
“Taman-Taman Nasional serta gunung-gunung di Jabar dan Banten lainnya yang merupakan daerah tangkapan air dan mata air kehidupan untuk DKI Jakarta, Jabar dan Banten, serta mencegah banjir di Jakarta dan Pantura,” bebernya.
Tolak UU No 2
Sementara itu Ketua Panata Gawe MMS, Andri Prakasa Kantaprawira menyampaikan bahwa pihaknya secara tegas menolak Undang-undang Nomor 2Tahun 2024 Daerah Khusus Jakarta BAB IX, tentang Kawasan Aglomerasi Pasal 51-60, yang mencakup minimal wilayah DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang.
Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok. Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Kota Bekasi.
“Undang-undang Provinsi DKI Jakarta disusun secara tergesa-gesa, dimana urang Sunda tidak pernah dipertimbangkan untuk mendapatkan penjelasan yang memadai. Diajak berpartisipasi secara demokratis dan dilakukan secara tertib dan bertanggung jawab,” tegas Andri. (Rav/N-01)