UNIVERSITAS Gadjah Mada meluncurkan UAV (Unmanned Aerial Vehicle) atau PTTA (Pesawat Terbang Tanpa Awak) atau drone Palapa S-1
Drone Palapa S-1 ini ciptaan Prof Gesang Nugroho. Diberi nama Palapa diambil dari nama Sumpah Palapa Gadjah Mada. Dan S-1 adalah seri pertama.
Prof. Gesang Nugroho mengungkapkan Palapa S-1 merupakan drone dengan kemampuan tinggal landas dan mendarat secara vertikal.
Di dalam drone ada empat rotor untuk mengangkat atau mengudara dan mendarat secara vertikal.
Juga terpasang mesin bakar (gasoline) yang menjadi pendorong drone atau hybrid fixed wing.
“Untuk take of dan landing tidak memerlukan runway,” kata Gesang, Rabu (4/9).
Drone ini tidak memerlukan launcher dan peralatan recovery. Pesawat ini didesain modular, dan dapat dipersiapkan untuk segera mengudara kurang dari 10 menit.
Drone terintegrasi dengan flight controller system. Dan bahan bakar/baterai yang digunakan untuk menerbangkan drone mampu bertahan sampai 6 jam.
Drone ini mampu menjalankan misa pemetaan hingga area seluas 1.500 hektare.
Selama terbang pesawat tanpa awak ini mampu mengirimkan data dan video dengan jangkauan komunikasi hingga 50 kilometer.
Dan masih bisa diperluas lagi sesuai dengan perelngkapan peralatan yang terpasang. Pesawat ini menggunakan komunikasi LTE dan jaringan privat.
“PTTA Palapa S-1 mampu membawa muatan yang berbeda mulai dari kamera pemetaan hingga kamera surveilan dengan biaya operasional murah,” ujarnya.
Palapa S-1 untuk Patroli Karhutla
Secara teknis, spesifikasi PTTA ini bertipe gasoline-electric VTOL UAV dengan bahan dasar kerangkanya adalah Carbon Fibre Composite.
Keunggulan lainnya memiliki bentang sayap (wingspan) 3 meter, panjang 2 meter dan tinggi 0,6 meter.
Kecepatan terendah (stall spreed) 60 kilometer per jam dan kecepatan jelajah 60 kilometer per jam. Serta kecepatan maksimal 120 kilometer per jam. Beban bawaan maksimal 1,5 kilogram.
Gesang menambahkan pada penciptaan awal ini, Palapa S-1 diarahkan untuk fungsi patroli kebakaran hutan.
Namun ke depan dapat dimanfaatkan untuk keperluan yang lebih luas lagi bahkan untuk keperluan militer.
Penelitian dan perancangan hingga pembuatan prototipenya didanai oleh LPDP. Namun, Gesang enggan menyebutkan dana untuk penelitiannya. Sedangkan biaya produksinya per unit pada kisaran Rp300 juta.
“Dalam waktu dekat ini, kami akan melaporkan ke Kementerian Pertahanan,” katanya.
Saat ini sudah banyak pesanan dan kapasitas produksinya sekitar 7 unit per 3 bulan. (AGT/S-01)