MENTERI Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan, keharmonisan interaksi antara manusia dan alam menjadi hal yang penting dalam menekan penularan penyakit arbovirus atau penyakit yang ditularkan melalui perantara serangga seperti nyamuk.
“Karena ketika perubahan iklim terjadi maka interaksi antara manusia dan hewan akan mengalami perubahan karena pola hidup makhluk juga berubah,” ujar Menkes Budi di depan delegasi International Arbovirus Summit Indonesia 2024, Senin (22/4/2024).
International Arbovirus Summit Indonesia 2024 merupakan implementasi dan kolaborasi internasional dalam membantu negara-negara meningkatkan kesiapan, pencegahan, dan penanganan Arbovirus.
Dalam sambutannya, Menkes Budi juga menjelaskan tentang falsafah Bali Tri Hita Karana yang bermakna keseimbangan hubungan atara tiga unsur, yaitu Tuhan, manusia, dan alam. Menurut Menkes Budi, dengan menjaga keharmonisan dengan alam, sebagaimana falsafah tersebut, peluang penularan penyakit arbovirus seperti demam berdarah dengue (DBD), Japanese encephalitis, chikungunya, dan infeksi virus Zika, akan berkurang.
“Karena hewan merasakan hidup harmonis bersama manusia. Jadi, ini merupakan tanggung jawab kita untuk menjaganya,” tambah Menkes Budi.
Untuk upaya mengontrol vektor atau hewan pembawa penyakit, Menkes Budi menyatakan, Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya tersebut dengan cara menyebarkan nyamuk ber-wolbachia untuk menurunkan replikasi virus dengue di tubuh nyamuk. Menkes menegaskan bahwa program nyamuk ber-wolbachia yang dilaksanakan di Yogyakarta telah menurunkan prevalensi kasus DBD di Yogyakarta saat kasus DBD di provinsi lain meningkat.
“Jadi, saat sekarang insiden dengue meningkat di banyak kota. Hal tersebut tidak terjadi di Yogyakarta. karena Yogyakarta telah mengimplementasikan Wolbachia,” ujar Menkes Budi.
Menurut Menkes, orang Indonesia terlalu curiga dan tidak bersikap ilmiah karena selalu mempertanyakan soal Wolbachia. Padahal di Jogja sudah terbukti secara ilmiah penerapan Wolbachia sudah 15 tahun lalu. Dan terbukti saat ini di seluruh Indonesia, hanya di Jogja yang kasus DBD paling sedikit. Sementara daerah lain kasus DBD masih tinggi.
Kasus yang sama terjadi di Bali. Proyek Wolbachia ditolak oleh masyarakat Bali. Terjadi kecurigaan yang berlebihan dalam kasus tersebut. Padahal sudah banyak bukti bahwa Wolbachia sangat efektif dan ampuh memberantas kasus DBD. Ia mencontohkan, di Brasil misalnya, sudah lama menerapkan Wolbachia. Dan sudah terbukti efektifitasnya.
“Kalau mau dibilang kekhawatiran kasus pariwisata, kurang terkenal apa Kota Rio Dejenairo, Brasil yang sangat terkenal itu,” ujarnya.
Namun kasus penolakan Wolbachia di Bali bukan proyek Kemenkes. Saat ini Kemenkes sedang menangani kasus yang di Jakarta, Bandung, dan Kupang. Hasilnya akan dilihat beberapa tahun kemudian.
Perluas akses teknologi
Menkes Brasil Nisia Trindade Lima memiliki pandangan sejalan dengan Menkes Budi mengenai penelitian dan pengembangan vaksin. Ia menyatakan, International Arbovirus Summit Indonesia 2024 ini merupakan momen berbagi antar-negara untuk memperluas akses teknologi terhadap penanggulangan penyakit arbovirus, khususnya demam berdarah.
“Ini merupakan momen untuk meningkatkan perhatian Kesehatan berbagai negara yang dapat memperluas akses terhadap teknologi pemberantasan penyakit, khususnya terkait virus demam berdarah,” ujar Menkes Brasil Nisia Trindade yang hadir secara daring.
Menkes Brasil Nisia Trindade menambahkan, kerja sama antara Brasil dan Indonesia ini merupakan wujud persahabatan kedua negara yang mendasar dalam berbagi peran dan manfaat di bidang pengendalian vektor.
“Saya berharap semua orang produktif dan berdialog sehingga memungkinkan negara kita mencapai kemajuan dalam pengendalian arbovirus,” kata Menkes Brasil Nisia Trindade berpesan kepada peserta pertemuan.
Dalam sambutan virtualnya, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menambahkan, WHO mendirikan inisiatif Global Arbovirus untuk mendukung negara-negara memperkuat persiapan, pencegahan, dan pengendalian arbovirus.
“Kita perlu bekerja sama untuk menggabungkan upaya-upaya terpadu dan mengutamakan agenda riset publik terkait Arbovirus. Kemitraan ini esensial bagi kita dalam upaya bersama melindungi dunia dari penyakit ini dan mengatasi penderitaan yang ditimbulkannya,” ujar Dirjen WHO.
Budi Gunadi menyatakan, setidaknya ada lima hal yang menjadi fokus dalam menangani penyakit infeksi yang ditularkan serangga seperti penyakit-penyakit arbovirus. Pertama, mengajari, mengedukasi, dan melatih masyarakat untuk mencegah penyakit infeksi.
Kedua, mengontrol vektor atau hewan pembawa penyakit. Ketiga, memiliki surveilans atau pengawasan yang kuat. Kempat, melakukan penelitian dan pengembangan vaksin. Kelima, upaya terapeutik atau hal-hal yang berkaitan dengan perawatan atau treatment terhadap penderita penyakit arbovirus.
Mengenai upaya edukasi, Menkes Budi menyinggung tentang pentingnya peran media sosial. Menkes menyatakan, media sosial memiliki peranan penting dalam mempromosikan kesehatan masyarakat.
Menurut Menkes, jika pemangku kepentingan kesehatan tidak memiliki media sosial yang kuat maka berbagai isu kesehatan yang menyesatkan yang tersebar di media sosial akan mudah dipercaya masyarakat. “Oleh karena itu strategi media sosial yang kuat dalam mengedukasi dan mempromosikan kesehatan menjadi tanggung jawab semua Menteri Kesehatan dunia,” ujar Menkes Budi. (ARD/L-02)