
KETIKA film-film lokal begitu banyak dibanjiri cerita horor, Film Gowok, Kamasutra Jawa seperti mencoba menawarkan sesuatu yang lain. Memang ada juga film-film lokal bagus yang tidak mengambil ‘setan’ sebagai ‘pemain’, tetapi sayangnya beberapa film tersebut merupakan adaptasi dari film asing.
Tetapi Gowok berbeda. Yah, film yang disutradarai Hanung Brahmantyo itu mencoba mengangkat sisi budaya Indonesia. Uniknya, tradisi budaya itu bahkan jauh dari yang kita kenal kebanyakan.
Betapa tidak? Ketika kita lebih banyak mengenal budaya patriarki, di film Gowok kita seperti diperkenalkan dengan tradisi budaya matriarki. Padahal umumnya kita mengenal budaya matriarki ada di Minangkabau (Sumatra Barat)–meski mungkin ada di daerah Indonesia lainnya–, tetapi ini di Jawa, yang biasanya kental dengan faham patriarki.
Yang terlupakan
Lebih dari itu, film Gowok juga mencoba memperkenalkan kita pada sebuah tradisi budaya asli Indonesia yang mungkin sudah terkubur zaman, terlupakan, terpinggirkan, atau terkunci di dalam ruang gelap. Faktanya, seperti tembang macapat, Gowok memang tradisi yang ada di daerah pingggiran Jawa Tengah yakni Purworejo, Blora, dan Banyumas. Itu sebabnya, tradisi itu boleh jadi tidak masuk arus utama.
Menurut literatur, tradisi gowok biasanya dilakukan seorang perempuan dewasa yang mengajarkan calon mempelai laki-laki yang belum pernah menikah soal bagaimana cara memuaskan istrinya nanti. Tujuannya adalah demi kepuasan sang istri dan menjaga keharmonisan.
Sinopsis
Film Gowok, Kamasutra Jawa, berfokus pada sosok Nyai Santi (Lola Amaria)
yang dikenal sebagai Gowok legendaris. Karena tidak menikah atau tidak boleh, ia memungut Ratri yang merupakan anak dari seorang pelacur.
Seiring dewasa, Ratri (Alika Jantinia) yang sedianya diplot untuk menjadi penerus Nyai Santi, jatuh cinta pada seorang pemuda dari keluarga terpandang bernama Kamanjaya (Devano Danendra). Ia bahkan bermain api dengan menjalin hubungan asmara.
Sayangnya, impian mereka untuk melanjutkan asmara hingga jenjang pernikahan tidak kesampaian. Kamanjaya dituding mengkhianati janji dan hal itu membuat Ratri sakit hati.
Selang beberapa tahun kemudian, Kamanjaya (Reza Rahardian) yang telah beristri
kembali muncul ke rumah Nyai Santi untuk menggowok anaknya yang bernama Bagas. Ratri dewasa (Raihaanun)
Beberapa tahun berselang, , kembali hadir dalam hidup Ratri. Namun, kehadirannya itu membuat Ratri terkejut bukan kepalang lantaran pria tersebut tiba-tiba membawa anak laki-lakinya yang bernama Bagas.
Ratri yang masih sakit hati justru membuat Bagas jatuh cinta kepadanya. alih-alih menggowoknya. Selanjutnya. semua misteri, satu-satu persatu tersingkap, termasuk mengapa Kamanjaya tidak menikahi Ratri.
Ulasan
Film Gowok: Kamasutra Jawa mengambil setting kehidupan di Jawa Tengah pada era ’60-an. Meski ‘dibanderol’ sebagai film dewasa, faktanya Gowok; Kamasutra Jawa merupakan kombinasi antara tradisi, budaya, thriller, horor, feminisme, dan sejarah.
Kita seperti diingkatkan lagi betapa kayanya Indonesia akan budaya. Selain budaya yang sudah dikenal, boleh jadi ada tradisi lain di Nusantara ini yang belum terangkat.
Selain itu sejarah yang menyertai film pun cukup kental. Kita seperti diingatkan lagi akan sejarah kelam yang pernah terjadi di Republik ini pada era 1965-an, ketika orang-orang diduga terlibat PKI jadi korban pembantaian.
Sayangnya, hal itu justru menjadi kelemahan film. Sebab cerita tak lagi berfokus pada pergowokaan tetapi melebar menjadi pergerakan. Kelemahan lain adalah beberapa tokoh yang tidak dijelaskan latar belakangnya seperti tokoh Liyan dan Sri.
Selain itu, properti dan latar belakang film sepertinya kurang mencerminkan era tersebut.
Namun terlepas dari itu, film Gowok: Kamasutra Jawa patut diapresiasi. Sebab film ini telah menyuguhkan paradigma baru dalam kita melihat tradisi masa lalu. (Mln/N-01)